Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2024

LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN

Jam menunjukkan pukul 19.33 WIB saat pesawat Lion Air flight 625 Balikpapan- Semarang mendarat di Airport Ahmad Yani Semarang.  Aku menutup tablet. Bersiap untuk turun.  Aku menengok keluar jendela. I see..... Home.  ......... Sepinggan Airport. Seorang laki-laki Dayak larut dalam tarian. Kaki bergerak berirama, menyapu bumi. Tangan meliuk bagaikan kepakan sayap. Melayang-melayang dalam kedamaian. Mencipta gerakan penuh rasa, menyatu dalam notasi keindahan Sape. Simple is beauty.  La beauté est simple. Keindahan dalam paduan gerak dan irama, melebur ke dalam kemurnian alam. Living in harmony . Nature is mother of culture. Alam memberikan kehidupan. Alam menerima kehidupan. Hubungan kausalitas dalam keseimbangan. ..... Dimanapun kita berada, itu adalah rumah kita.  Ketika pesawat take off pukul 18.50 WITA. Meninggalkan Sepinggan. Dalam hati aku merasa.... I left    my home ,  to go back to my home..  ........... Mobil meluncur di tol Semarang-Salatiga. Persis sebelum rest area Salatig

Negeri Para Ksatria Bra Tara

  " Ada sebuah cerita negeri timur raya. Alamnya indah,  penduduknya ramah. Berbagai suku bangsa dan budayanya. Mereka menyebutnya Nusantara. Membentang bagai permata di khatulistiwa. Hijau hutannya, biru lautnya. Berlambang burung Garuda, tersemat di dada. Bhineka Tinggal Ika-lah jiwanya....." Tulisan ini dimulai dengan lirik bait lagu yang ditulis oleh seorang dosen "gaul asyiik" dari salah satu universitas negeri ternama di Yogyakarta.  "Mereka menyebutnya Nusantara."  Kata Nusantara merupakan gabungan kata Nuswa (atau Nusa), Anta dan Tara. Nuswa artnya pulau tempat tinggal. Anta artinya laki-laki kesatria. Tara  artinya mulia.  So.... Nusantara atau Nuswantara berarti pulau atau kepulauan yang merupakan tempat tinggal para kesatria yang mulia.  ........... Lambang burung Garuda pada photo di atas merupakan lambang negara yang tergantung di dinding ruangan hall   pada salah satu bangunan colonial di kota Bogor, Jawa Barat. Bangunan itu  dibangun oleh 

Waroeng Kerinduan

  Kolom khusus  Kumpulan puisi-puisi Kerinduan Ceceran tulisan dalam puisi, corat-coret sketsa perjalanan sejak tahun 90-an hingga sekarang.  ________&&&&________ Aku bukan Penyair, Aku hanyalah orang yang tenggelam dalam kata, Mati terkubur bersama Puisi itu sendiri. .... Aku bukan Penyair... (Jakarta 1994, Malam Kenangan Chairil Anwar) ___________&&&&&&___________ Ketika musim bunga-bunga mekar dan saat warna-warni kupu-kupu  beterbangan. Cintaku tiba bersamanya. (Salatiga, Juni 2020) ___________&&&&&_________ Aku menahan diri untuk tidak bertanya bagaimana kabarmu. Aku menahan diri agar kau tidak tahu  betapa aku merindukanmu. Aku menahan diri agar tidak selalu mencemaskanmu. Aku pura-pura sibuk... ( Jakarta, November 1995 ) _________&&&&&&_________ Kita tidak pernah tahu kebenaran Cinta sejati. Yang penting tetaplah di jalan kebaikan. Biarkan Tuhan yang memutuskan. (Baciro - Yogyakarta 1996) _______

DIENG CULTURE FESTIVAL

Dieng Plateau , also known as the “Abode of the Gods,” is a captivating highland area in  Central Java, Indonesia .  Ancient Origins The Dieng Plateau was once an ancient lake formed by damming lava from surrounding volcanic eruptions. Over time, sedimentation transformed the lake into the plains we see today. Ancient Javanese inscriptions  dating back to the  9th century  mention Dieng. During this period, the plateau served as a  religious center  and a place of worship for  Hinduism . Inscriptions like the  Gunung Wule ,  Kapuhunan , and  Indrakila  provide glimpses into Dieng’s significance. Sacred Space and Temples Dieng is dotted with  ancient Hindu temples  dating back to the  8th century . These temples are an  archaeological goldmine , reflecting the rich cultural heritage of the region. The name “Dieng” itself comes from Old Javanese words:  “di”  (place) and  “hyang”  (ancestors or gods). Thus, Dieng translates to “place of the ancestors” or "where the gods reside"