Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari 11, 2024

Kuntowijoyo

  Kuntowijoyo, born in 1943 in Yogyakarta, Indonesia, was a prominent Indonesian intellectual, philosopher, and cultural critic.  He dedicated his life to promoting intellectual discourse and critical thinking in Indonesian society, challenging traditional norms and ideologies.  Kuntowijoyo was known for his groundbreaking works in various fields including politics, culture, and religion. His ideas have shaped the intellectual landscape of Indonesia and continue to inspire generations of scholars and activists. One of Kuntowijoyo's most notable contributions was his critique of authoritarianism and political power in Indonesia. He believed in the importance of democracy, freedom, and human rights, and argued for the need to challenge oppressive structures of power.  Kuntowijoyo's insights into the nature of power and governance have had a lasting impact on Indonesian political thought, inspiring a new generation of activists and intellectuals to fight for a more just and equita

Salatiga Is A Small City With A Big Charm

  Salatiga is a small city in Central Java, Indonesia, that offers a variety of attractions for travelers who love nature, culture, and history. This city located at the foot of Mount Merbabu, a popular destination for hikers and campers. The city has a cool and fresh climate, making it a perfect escape from the heat and pollution of the urban areas. The temperature of Salatiga varies throughout the year, with the highest average temperature in October (24.1 °C) and the lowest in January (22.4 °C)1. The current temperature (06:08) is 26°C (78.8°F)2. Salatiga has a tropical monsoon climate, with the average rainfall of 2,668 mm (105.0 in) per year1. The weather today is cloudy, with some rain and a thunderstorm expected later. Salatiga has adequate facilities for travelers, such as hotels, guesthouses, restaurants, cafes, and souvenir shops. The city is easily accessible by car, bus, or train from other major cities in Central Java, such as Semarang, Solo, and Yogyakarta. The city also

Dari Jendela Ajip Rosidy

Ajip Rosidy (1938-2020) adalah seorang sastrawan, budayawan, sejarawan, dan pelestari warisan budaya Nusantara. Ia lahir di Jatiwangi, Cirebon, Jawa Barat, pada 31 Januari 1938. Ia menikah dengan Fatimah Wirjadibrata pada tahun 1955 dan dikaruniai enam orang anak. Ajip Rosidy mulai menulis karya sastra sejak usia 14 tahun. Karyanya banyak dimuat di majalah-majalah terkenal seperti Mimbar Indonesia, Zenith, Siasat, dan lain-lain. Ia menulis puisi, cerpen, novel, drama, esai, kritik, terjemahan, dan saduran, baik dalam bahasa Indonesia maupun Sunda. Ia juga dikenal sebagai penyair Sunda yang gigih melestarikan bahasa dan sastra daerahnya. Beberapa karya Ajip Rosidy yang terkenal antara lain: Tahun-tahun Kematian (kumpulan cerpen, 1955) Ketemu di Jalan (kumpulan sajak bersama SM Ardan dan Sobron Aidit, 1956) Pesta (kumpulan sajak, 1956) Di Tengah Keluarga (kumpulan cerpen, 1956) Sebuah Rumah buat Haritua (kumpulan cerpen, 1957) Dibalik Tirai (novel, 1960) Kembang Rampai (drama, 1962)

Blangkon ..Blank-On?

Blangkon adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang sangat terkenal. Blangkon tidak hanya berfungsi sebagai aksesori mode, tetapi juga memiliki makna filosofis yang dalam dan menginspirasi. Blangkon terbuat dari kain batik yang dilipat, dililit, dan dijahit sehingga berbentuk seperti topi. Blangkon biasanya dipakai oleh para pria Jawa dalam berbagai acara, baik formal maupun informal. Salah satu ciri khas dari blangkon adalah jumlah lipatan kain yang membentuknya. Jumlah lipatan kain ini tidak sembarangan, tetapi memiliki simbol dan makna tertentu. Menurut beberapa sumber makna simbolis dari umlah lipatan kain pembentuk blangkon adalah sebagai berikut : 1. 17 lipatan di sisi kiri dan kanan (wiron). Lipatan ini melambangkan adanya 17 rakaat dalam 5 waktu shalat, yaitu 2 rakaat shalat subuh, 4 rakaat shalat zuhur, 4 rakaat shalat ashar, 3 rakaat shalat maghrib, dan 4 rakaat shalat isya. Lipatan ini mengingatkan kita untuk menjalankan ibadah shalat sebagai kewajiban utama sebagai uma

The Long Story Of Kopi Tubruk in Indonesia

"Kopi Tubruk" is one of authentic Indonesian coffee with a rich history and a unique brewing method. Let me tell you more about it. Mud coffee, or kopi tubruk, is a traditional way of making coffee in Indonesia by pouring hot water over finely ground coffee beans and sugar, without filtering them.  The result is a thick, strong, and flavorful coffee with a layer of sediment at the bottom of the cup.   The history of kopi tubruk dates back to the 17th century, when coffee was introduced to Indonesia by the Dutch colonizers. At that time, coffee was a luxury item that only the elite could afford. However, a Chinese merchant named Tjak Thie Tjin, who lived in Batavia (now Jakarta), popularized coffee among the local people by selling it at a low price.   He also taught them how to make kopi tubruk by using a mortar and pestle to grind the coffee beans, and then mixing them with sugar and hot water in a glass or a pot.   Kopi tubruk became a favorite drink of many Indonesians,

Sugih tanpa Banda

Aku mau cerita dikit mengenai syair atau lirik lagu "Sugih Tanpa Banda". Ayok kita ngoceh ngalor ngidul lagi....sinambi ngopi karo nyawang lintang ngalih..  .................. Syair tembang "Sugih Tanpa Banda" ini menggambarkan bagaimana seseorang yang telah mencapai tingkat kesempurnaan dalam tasawuf, yaitu maqam al-fana, yaitu keadaan di mana seseorang telah lenyap dari segala sesuatu selain Allah SWT.   Orang yang telah fana ini merasa kaya tanpa harta, kuat tanpa mantra, menang tanpa merendahkan orang lain, dan bahagia tanpa ada kesedihan.  Orang ini juga menerima apa yang Allah berikan dengan pasrah, tidak mengharapkan balasan, dan memiliki nama yang baik di mata Allah dan manusia.   Syair tembang ini merupakan salah satu karya dari RM Sosrokartono, seorang filsuf dan sufi Jawa yang menguasai 17 bahasa dan banyak ilmu pengetahuan.   Syair ini mengandung ajaran tasawuf Islam yang sangat mendalam dan relevan dengan kehidupan kita sehari-hari.   Tasawuf adalah ilm

Sebuah rumah di jalan Kemiri Salatiga

Saya akan bercerita sedikit sambil menunggu kopi yang tak kunjung datang..  Ngene ceritane..dulu...di awal tahun 90-an, aku masih menempuh pendidikan di salah satu SMA di Jl. Kemiri Raya Salatiga.  Saat itu... Ada sebuah rumah besar di daerah Kemiri Candi Salatiga yang sangat menarik perhatianku. Bila kita memandang rumah itu, Nuansanya terasa sangat berbeda. Sangat membumi. Bentuknya agak berbeda dibandingkan dengan rumah-rumah di sekitarnya. Arsitekturnya cukup unik.  Luas dan asri. Itu adalah rumahnya Pak Arief Budiman dan Bu Leila Ch. Budiman...   The house is located in Kemiri Village, Kemiri Candi street, at the foot of Mount Merbabu.  It was built in 1985, after Arief Budiman returned from his doctoral studies at Harvard University. He choose Salatiga as his home because he felt alienated and disappointed by the rapid development and social in justice in Jakarta.  He wanted to live in a more peaceful and natural environment, where he could pursue his academic and artistic intere

Klothok..klothok..klothok..

Kopi klothok adalah salah satu minuman khas Jawa yang memiliki rasa dan cara pembuatan yang unik.  Kopi klothok dibuat dengan merebus air, gula, dan bubuk kopi dalam sebuah panci di atas tungku arang. Ketika air mendidih, panci akan mengeluarkan suara klothok-klothok, yang menjadi ciri khas minuman ini. Kopi klothok biasanya disajikan dalam cangkir yang terbuat dari batok kelapa. Cangkir ini memberikan sensasi minum yang berbeda dan alami. Kopi klothok memiliki rasa yang manis, pahit, dan gurih, yang cocok untuk menemani sarapan atau bersantai di sore hari.  Kopi klothok juga menjadi bagian dari kebudayaan Jawa, yang menghargai tradisi dan kearifan lokal.  Kopi klothok sering diminum bersama dengan makanan ringan seperti jadah, pisang goreng, atau lodeh.  Kopi klothok juga menjadi media untuk berkomunikasi dan bercengkerama dengan sesama penggemar kopi.  Salah satu tempat yang terkenal dengan Kopi klothok adalah Warung Kopi Klothok di Jalan Kaliurang, Yogyakarta.  Di sini, kita bisa me

Kangen Pak Kayam

Mangan Ora Mangan Kumpul adalah kumpulan sketsa yang dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta antara tahun 1987 sampai 1990. Sketsa-sketsa ini ditulis oleh Umar Kayam, seorang sastrawan, budayawan, dan akademisi yang terkenal dengan karya-karyanya yang mengangkat budaya dan kehidupan Jawa.  Dalam buku ini, ia mengisahkan pengalaman-pengalamannya sebagai seorang priyayi yang tinggal di Jogja-Jakarta, dengan gaya bahasa yang ringan, lucu, dan penuh filosofi Jawa.  Tokoh utama dalam sketsa-sketsa ini adalah Pak Ageng, seorang profesor sastra, guru besar yang diduga merupakan alter ego dari Umar Kayam sendiri.  Pak Ageng tinggal bersama keluarga pembantunya yang ia sebut sebagai kitchen cabinet, yang terdiri dari Mister Rigen, Ms. Nansiyem, dan dua anaknya.  Mister Rigen adalah tokoh yang mewakili pandangan dan suara dari wong cilik, yang sering beradu argumen dengan Pak Ageng tentang berbagai hal, mulai dari politik, ekonomi, hingga budaya.  Ms. Nansiyem adalah istri Mister Rigen yan

10 OF THE MOST FAMOUS AND INSTAGRAM-ABLE COFFEE SHOP IN SALATIGA

 Hello, everyone! Welcome back to my blog, where I share with you my passion for coffee and travel. In this blog, I'm going to take you to Salatiga, a charming city in Central Java, Indonesia, where I visted 10 of the most famous and Instagram-able coffee shops. Salatiga is known for its cool climate, beautiful scenery, and rich culture. It's also a great place to enjoy some of the best coffee in the country.  So, without further ado, let's get started! 1. PINOG COFFEE The first coffee shop that I visited was Pinog Coffee, which was established in 2016. This cafe has a cozy and minimalist interior, with wooden furniture and green plants.  They serve various kinds of coffee, from espresso to manual brew, as well as tea, juice, and smoothies. I ordered a cappuccino and a slice of banana cake, and they were both delicious. The coffee was smooth and creamy, and the cake was moist and fluffy.  I also liked the friendly and attentive service from the staff. 2. CLEVERLY EATERY The