Langsung ke konten utama

Klothok..klothok..klothok..

Kopi klothok adalah salah satu minuman khas Jawa yang memiliki rasa dan cara pembuatan yang unik. 

Kopi klothok dibuat dengan merebus air, gula, dan bubuk kopi dalam sebuah panci di atas tungku arang. Ketika air mendidih, panci akan mengeluarkan suara klothok-klothok, yang menjadi ciri khas minuman ini. Kopi klothok biasanya disajikan dalam cangkir yang terbuat dari batok kelapa. Cangkir ini memberikan sensasi minum yang berbeda dan alami. Kopi klothok memiliki rasa yang manis, pahit, dan gurih, yang cocok untuk menemani sarapan atau bersantai di sore hari. 

Kopi klothok juga menjadi bagian dari kebudayaan Jawa, yang menghargai tradisi dan kearifan lokal. 

Kopi klothok sering diminum bersama dengan makanan ringan seperti jadah, pisang goreng, atau lodeh. 

Kopi klothok juga menjadi media untuk berkomunikasi dan bercengkerama dengan sesama penggemar kopi. 

Salah satu tempat yang terkenal dengan Kopi klothok adalah Warung Kopi Klothok di Jalan Kaliurang, Yogyakarta. 

Di sini, kita bisa menikmati Kopi klothok sambil menikmati pemandangan sawah dan Gunung Merapi. 

Warung Kopi Klothok juga menyediakan berbagai menu makanan khas desa yang lezat dan murah. 

Kopi klothok adalah minuman yang sederhana tapi memiliki makna yang dalam. Kopi klothok adalah minuman yang menggambarkan kekayaan dan keindahan Jawa. Kopi klothok adalah minuman yang menghangatkan hati dan jiwa. 


 Demikian tulisan saya tentang Kopi klothok. Semoga Anda menyukainya dan tertarik untuk mencobanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dolce Far Niente

🌿 Saat waktu tak lagi menuntut, saat angin hanya berbisik pelan. Saat aku duduk di antara cahaya dan bayanganku sendiri.  Tidak ada yang harus diselesaikan. Tidak ada yang perlu dimenangkan. Hanya waktu yang mengalir tenang--berjalan tanpa suara, Dan hanya pikiranku yang menari--mengalir perlahan di dalamnya. Di kedalaman keindahan Sape, Kutemukan laut yang bisa bersenandung, Kurasakan hutan pegunungan yang diam dalam kebijaksanaan.  Aku belajar kearifan masyarakat tepian sungai, menghayati kehalusan hati masyarakat pedalaman hutan. Aku hidup tanpa beban— menghirup manisnya udara--Bahagia tanpa melakukan apa-apa. Dolce far niente...Tiada melakukan apa-apa bukan berarti hampa— tapi adalah suatu keberadaan yang tak membutuhkan pembuktian.

Ramadhan di Balikpapan

Ramadhan telah tiba. Sejak menginjakan kaki di airport Sepinggan enam bulan yang lalu, wekker- ku seolah-olah berputar sangat cepat.  Tiba-tiba saja..,. ujug-ujug sudah memasuki bulan Ramadhan. Ngerti-ngerti wes poso. Puasa tahun pertama di Balikpapan... ........... ☘️......... Ahmad Yani Airport. Akhir September 2023. Flight- ku masih satu jam lagi. Setengah mengantuk aku menuju ke toilet bandara. Cuci muka.. .................. Terasa sangat berbeda. Beberapa tahun lalu, sekitar lima atau enam tahun lalu saat aku masih wira-wiri  Semarang - Jakarta (aku lupa tahun berapa aku terakhir naik pesawat), saat itu airport ini masih belum selesai. Di sana-sini interiorrnya masih under construction . Tapi yang jelas bandara baru ini sudah dioperasikan untuk melayani penerbangan sipil, menggantikan bandara lama yang terletak di sampingnya.  Koridor dari tempat check-in menuju ruang tunggu penumpang masih polos. Bersih. Membosankan.   Hanya saja, yen ora keliru , waktu ...

Kamarintah, Republiken, Kamardikan dan Sego Godog

Sekitar tahun 80-an hingga awal 90-an sebuah gerobak kecil mangkal di seberang jalan Rumah Sakit Tentara Dokter Asmir Salatiga. Setiap malam gerobak tua dengan anglo arang yang selalu menebarkan asap " kemeluk " tebal itu, selalu dipenuhi oleh orang-orang yang asyik ngobrol. Air bekas cucian gelas kotor kopi dan teh bolak-balik dibuang di selokan.  Orang-orang menambahkan gumpalan-gumpalan " keluk " rokok diantara asap arang kelapa dari anglo yang pernah putus. Sego godog. Tangan tua yang dipenuhi keriput, dengan cekatan menuangkan air, menambahkan nasi , menambahkan bumbu. Mengaduk-aduk. Diakhiri dengan " nyiduk " nasi berkuah yang kebul-kebul, menuangkannya ke dalam piring. Begitulah sang tangan tua keriput itu berulang kali menjalankan ritual yang sama. Dan selalu akan ada tangan lain yang berganti-ganti, mengambil dan menerima piring isi nasi berkebul-kebul dari tangan keriputnya. Kadang-kadang di saat rehat, saat semua pelanggannya sudah menerima piri...