Langsung ke konten utama

Kamarintah, Republiken, Kamardikan dan Sego Godog..



Sekitar tahun 80-an hingga awal 90-an sebuah gerobak kecil mangkal di seberang jalan Rumah Sakit Tentara Dokter Asmir Salatiga. Setiap malam gerobak tua dengan anglo arang yang selalu menebarkan asap 'kemeluk" tebal itu, selalu dipenuhi oleh orang-orang yang asyik ngobrol. Air bekas cucian gelas kotor kopi dan teh bolak-balik dibuang di selokan. 

Orang-orang menambahkan gumpalan-gumpalan "keluk" rokok diantara asap arang kelapa dari anglo yang pernah putus.


Sego godog.

Tangan tua yang dipenuhi keriput, dengan cekatan menuangkan air, menambahkan nasi , menambahkan bumbu. Mengaduk-aduk. Diakhiri dengan "nyiduk" nasi berkuah yang kebul-kebul, menuangkannya ke dalam piring. Begitulah sang tangan tua keriput itu berulang kali menjalankan ritual yang sama. Dan selalu akan ada tangan lain yang berganti-ganti, mengambil dan menerima piring isi nasi berkebul-kebul dari tangan keriputnya.


Kadang-kadang di saat rehat, saat semua pelanggannya sudah menerima piring nasi darinya, dia akan mengambil gelas kaleng yang selalu dia letakkan di dekat anglo, kemudian menyeruput kaleng kopinya pelan-pelan. Atau kalo tidak, kadang-kadang dia "ndudut" lintingan tembakau dari "slepen", membakar dan menyedotnya dalam-dalam. Aku sering mengamatinya diam-diam.


Dia seusia kakekku. Saat itu.

Seusia tiga kali dari umur vespaku. Atau bahkan lebih tua lagi.


Aku memarkir vespa dekat anglo-nya.


"Sekul godog mas? Kopi punapa teh? Wallah..supe kula, kopi nggih?"


Dia selalu ngomong dengan bahasa Jawa krama. 


"Pripun..pripun. Dospundi wartanipun. Mpun dangu Mase mboten mampir kledang-kledang mriki. Nopo 'mpun supe kalih mriki.."


Wajahnya sumeh. Berseri. 

Wajahnya bahkan di kemudian hari saat aku meneruskan sekolah di Jakarta, menjadi salah satu wajah yang aku kangeni. 


"Gusti Allah punika Maha Adil. Kula punika menawi pas masuk angin. Kanginan. Ndilalah obatipun nggih gampil. Namung kopi ngangge uyah. Ngangge garam thok. Mpun langsung bablas."


Dia menuangkan ceret air ke gelas kopi. 


"Sapunika jamane mpun Ngalhamdulillah. Kula niku menangi jaman Walandi. Menangi jamanipun Nippong. Nderek ubyang-ubyung teng Parakan, nyuwun suwuk bambu runcing."

"Elek-elek ngeten, Kula nggih tumut nyegati Walandi."

"Kula nderek Republiken."


Piring nasi godogku-pun datang. 


"Wekdal Pak Karno tindak Salatiga. Rawuh wonten dalemipun bu Hartini. Atiku kula mongkog sanget, saged ningali pasuryanipun. Pancen gagah. Bangga kula."


Dia meletakkan gelas kopinya.


"Sapunika jamane sampun sarwa gampil. Mpun tentrem kula."


Tembakau lintingan kembali menempel di mulutnya. Tersembur asap keluk putih yang melingkar-lingkar bak asap cerobong sepur Tuntang-Ambarawa.


"Wiwit Pak Harto ngasta. Menapa-menapa dipun bangun. Tiyang-tiyang alit kados kula punika saged nderek ngempil kamulyan ing jaman kamardikan. Dalanipun dados sae, putu-putu saged sekolah."


Tangannya sibuk merogoh saku baju. Mencari-cari sesuatu. 


"Menawi Pak Harto sampun dhawuh, kamarentah mpun dhawuh, kawula alit kados kula-kula sedaya menika amung nderek. Ngestokaken ingkang dipun-dhawuhaken kamarentah."


Kamarintah? Otakku berpikir cepat. Oh maksudnya pemerintah.


"Punapa-punapa sapunika sarwi cekap, pepak, gampil dipadosi. Jamane ambangun nagari."


Korek apinya menyala. 


"Mase pengin dados menapa? Menawi sekolah ingkang telaten. Ingkang gemi. Supados dados tiyang ageng ing tembe mburi-nipun."


Sendokku beradu dengan piring. Matanya melirik piringku.


"Bade nambah sekul godogipun?"


Tangan keriputnya kembali cekatan. Cak-cek, byuuk..byuuk bumbu ditambahkan ke dalam kuali. 

Orang-orang masih ramai ngobrol di gelaran tikar . Beberapa kali terdengar riuh orang ramai tertawa. 

Gelas-gelas dituangi kopi dari ceret. 


"Rumiyin Pak Supardjo Rustam nate dahar mriki. Rame rame."


Pak Supardjo Rustam? Aku mencoba mengingat-ingat nama yang barusan dia sebutkan. Mantan gubernur Jawa Tengah?


"Pak Supardjo Rustam wekdal perang clash, nderekaken Pak Dirman tindak gerilya."

"Priyantunipun taksek gagah, kula remen sanget ningali dhaharipun."


Sepiring nasi godog kembali kebul-kebul di depanku.


"Mangkeh bade nglajengaken sekolah dateng nJogja menapa mBandung?"


Aku mengenalnya sejak tahun 80-an. Sepulang dari mencari komik bekas di pasar loak "Shopping" Salatiga, bapak mengajakku mampir makan di sini. Letaknya di tepi jalan dr. Muwardi, persis di pojok pertigaan jalan Muwardi-Kalinyamat. Bapak kelihatannya akrab sekali dengan dia. 


..................................

Tahun-tahun berlalu. Pertengahan 2000-an, saat mudik ke Salatiga. Aku pengin menemui dia. 

Gerobak nasi godog dan anglo itu sudah tidak ada.

Ada deretan warung sate dan soto baru. Tak ada yang mengenal dia.


"Gesang punika, sak madya. Kedah gadah raos syukur. Purun ngabekti. Nglampahi paugeranipun Gusti Allah."


Aku bertanya-tanya. Apakah dia sudah meninggal? Atau pindah ke mana?


"Langkung sae malih menawi purun tirakat."

 

Aku tidak pernah mendengar lagi kabarnya.


 

Balikpapan, Maret 2024

Catatan:

Aku berharap beliau hanya ingin pensiun. Istirahat. Menghabiskan masa tua dengan tenang. Berkumpul dengan cucu-cucunya. 

"Mangkeh manawi yoga kula sampun mentas sedanten, kula leren. Nunggoni putu-putu kula."


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ramadhan di Balikpapan

Ramadhan telah tiba. Sejak menginjakan kaki di airport Sepinggan enam bulan yang lalu, wekker- ku seolah-olah berputar sangat cepat.  Tiba-tiba saja..,. ujug-ujug sudah memasuki bulan Ramadhan. Ngerti-ngerti wes poso. Puasa tahun pertama di Balikpapan... ........... ☘️......... Ahmad Yani Airport. Akhir September 2023. Flight- ku masih satu jam lagi. Setengah mengantuk aku menuju ke toilet bandara. Cuci muka.. .................. Terasa sangat berbeda. Beberapa tahun lalu, sekitar lima atau enam tahun lalu saat aku masih wira-wiri  Semarang - Jakarta (aku lupa tahun berapa aku terakhir naik pesawat), saat itu airport ini masih belum selesai. Di sana-sini interiorrnya masih under construction . Tapi yang jelas bandara baru ini sudah dioperasikan untuk melayani penerbangan sipil, menggantikan bandara lama yang terletak di sampingnya.  Koridor dari tempat check-in menuju ruang tunggu penumpang masih polos. Bersih. Membosankan.   Hanya saja, yen ora keliru , waktu itu lukisan raksasa kary

LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN

Jam menunjukkan pukul 19.33 WIB saat pesawat Lion Air flight 625 Balikpapan- Semarang mendarat di Airport Ahmad Yani Semarang.  Aku menutup tablet. Bersiap untuk turun.  Aku menengok keluar jendela. I see..... Home.  ......... Sepinggan Airport. Seorang laki-laki Dayak larut dalam tarian. Kaki bergerak berirama, menyapu bumi. Tangan meliuk bagaikan kepakan sayap. Melayang-melayang dalam kedamaian. Mencipta gerakan penuh rasa, menyatu dalam notasi keindahan Sape. Simple is beauty.  La beauté est simple. Keindahan dalam paduan gerak dan irama, melebur ke dalam kemurnian alam. Living in harmony . Nature is mother of culture. Alam memberikan kehidupan. Alam menerima kehidupan. Hubungan kausalitas dalam keseimbangan. ..... Dimanapun kita berada, itu adalah rumah kita.  Ketika pesawat take off pukul 18.50 WITA. Meninggalkan Sepinggan. Dalam hati aku merasa.... I left    my home ,  to go back to my home..  ........... Mobil meluncur di tol Semarang-Salatiga. Persis sebelum rest area Salatig

Sebuah rumah di jalan Kemiri Salatiga

Saya akan bercerita sedikit sambil menunggu kopi yang tak kunjung datang..  Ngene ceritane..dulu...di awal tahun 90-an, aku masih menempuh pendidikan di salah satu SMA di Jl. Kemiri Raya Salatiga.  Saat itu... Ada sebuah rumah besar di daerah Kemiri Candi Salatiga yang sangat menarik perhatianku. Bila kita memandang rumah itu, Nuansanya terasa sangat berbeda. Sangat membumi. Bentuknya agak berbeda dibandingkan dengan rumah-rumah di sekitarnya. Arsitekturnya cukup unik.  Luas dan asri. Itu adalah rumahnya Pak Arief Budiman dan Bu Leila Ch. Budiman...   The house is located in Kemiri Village, Kemiri Candi street, at the foot of Mount Merbabu.  It was built in 1985, after Arief Budiman returned from his doctoral studies at Harvard University. He choose Salatiga as his home because he felt alienated and disappointed by the rapid development and social in justice in Jakarta.  He wanted to live in a more peaceful and natural environment, where he could pursue his academic and artistic intere

Little House In The Prairie

  Laura Jika kamu anak SD atau anak SMP sekitar tahun 1980-an, so pasti dengan tingkat probabilitas cukup tinggi....dan cukup meyakinkan pasti tahu siapa gadis pada gambar di atas.  Ya..Laura. Karakter Laura dalam film Little House In The Prairie diperankan oleh Mellisa Gilbert. Tapi tahukah kamu jika karakter Laura dalam film tersebut sebenarnya adalah personifikasi karakter dari penulis buku Little House In The Prairie itu sendiri?  Siapa penulis cerita Little House in The Prairie? Laura Elizabeth Ingalls Wilder. Laura Elizabeth Ingalls Wilder adalah seorang penulis Amerika yang terkenal dengan seri buku anak-anak Little House on the Prairie , diterbitkan antara tahun 1932 dan 1943, yang merupakan  kisah masa kecilnya di keluarga pemukim dan perintis.  Selama tahun 1970-an dan awal 1980-an, serial NBC-TV Little House on the Prairie didasarkan pada buku-buku Little House. Laura adalah anak kedua dari lima bersaudara yang lahir dari pasangan Caroline dan Charles Ingalls pada tanggal 7

Kemerdekaan Berserikat Berkumpul NGOPI-NGOPI

Deretan rak berisi buku-buku berjejer di sepanjang dinding dekat pintu utama. Sang Owner sepertinya sengaja meletakkan rak buku itu di situ. Bagian terdepan yang pertama akan langsung kita temui adalah buku- buku tua - tebal - kelihatan agak lusuh, jika kita memasuki ruangan itu. Ada photo besar dengan pigura antik. Seorang Belanda bertopi putih, berdiri gagah. Di bawahnya ada deretan pigura-pigura kecil ditata rapi. Penuh dengan photo-photo lawas. Sebuah perkebunan kopi. Berangka tahun 1938.  .,........ Tahun 1929. Loji Belanda bercat putih. Halaman luas. Arsitektur indische.  Gaya arsitektur indische adalah adaptasi dan paduan antara arsitektur Eropa dengan arsitektur lokal tropis Indonesia. Rumah besar ini dibangun oleh  CP Wolff Schoemaker, seorang arsitek berkebangsaan Belanda.  Jendela kayu besar-besar. Lantai keramik teraso. Gazebo taman kecil berada di samping rumah.  " Maria...speel niet in de tuin. Laten we het huis binnengaan. Binnenkort gaat het regenen." Terdenga

Sugih tanpa Banda

Aku mau cerita dikit mengenai syair atau lirik lagu "Sugih Tanpa Banda". Ayok kita ngoceh ngalor ngidul lagi....sinambi ngopi karo nyawang lintang ngalih..  .................. Syair tembang "Sugih Tanpa Banda" ini menggambarkan bagaimana seseorang yang telah mencapai tingkat kesempurnaan dalam tasawuf, yaitu maqam al-fana, yaitu keadaan di mana seseorang telah lenyap dari segala sesuatu selain Allah SWT.   Orang yang telah fana ini merasa kaya tanpa harta, kuat tanpa mantra, menang tanpa merendahkan orang lain, dan bahagia tanpa ada kesedihan.  Orang ini juga menerima apa yang Allah berikan dengan pasrah, tidak mengharapkan balasan, dan memiliki nama yang baik di mata Allah dan manusia.   Syair tembang ini merupakan salah satu karya dari RM Sosrokartono, seorang filsuf dan sufi Jawa yang menguasai 17 bahasa dan banyak ilmu pengetahuan.   Syair ini mengandung ajaran tasawuf Islam yang sangat mendalam dan relevan dengan kehidupan kita sehari-hari.   Tasawuf adalah ilm

10 OF THE MOST FAMOUS AND INSTAGRAM-ABLE COFFEE SHOP IN SALATIGA

 Hello, everyone! Welcome back to my blog, where I share with you my passion for coffee and travel. In this blog, I'm going to take you to Salatiga, a charming city in Central Java, Indonesia, where I visted 10 of the most famous and Instagram-able coffee shops. Salatiga is known for its cool climate, beautiful scenery, and rich culture. It's also a great place to enjoy some of the best coffee in the country.  So, without further ado, let's get started! 1. PINOG COFFEE The first coffee shop that I visited was Pinog Coffee, which was established in 2016. This cafe has a cozy and minimalist interior, with wooden furniture and green plants.  They serve various kinds of coffee, from espresso to manual brew, as well as tea, juice, and smoothies. I ordered a cappuccino and a slice of banana cake, and they were both delicious. The coffee was smooth and creamy, and the cake was moist and fluffy.  I also liked the friendly and attentive service from the staff. 2. CLEVERLY EATERY The

Negeri Para Ksatria Bra Tara

  " Ada sebuah cerita negeri timur raya. Alamnya indah,  penduduknya ramah. Berbagai suku bangsa dan budayanya. Mereka menyebutnya Nusantara. Membentang bagai permata di khatulistiwa. Hijau hutannya, biru lautnya. Berlambang burung Garuda, tersemat di dada. Bhineka Tinggal Ika-lah jiwanya....." Tulisan ini dimulai dengan lirik bait lagu yang ditulis oleh seorang dosen "gaul asyiik" dari salah satu universitas negeri ternama di Yogyakarta.  "Mereka menyebutnya Nusantara."  Kata Nusantara merupakan gabungan kata Nuswa (atau Nusa), Anta dan Tara. Nuswa artnya pulau tempat tinggal. Anta artinya laki-laki kesatria. Tara  artinya mulia.  So.... Nusantara atau Nuswantara berarti pulau atau kepulauan yang merupakan tempat tinggal para kesatria yang mulia.  ........... Lambang burung Garuda pada photo di atas merupakan lambang negara yang tergantung di dinding ruangan hall   pada salah satu bangunan colonial di kota Bogor, Jawa Barat. Bangunan itu  dibangun oleh