Langsung ke konten utama

Resensi Buku: “Slilit Sang Kiai”

 



“Slilit Sang Kiai” adalah kumpulan esai yang menggugah pikiran oleh Emha Ainun Nadjib, seorang penulis dan tokoh budaya terkemuka Indonesia. Melalui prosanya yang fasih, Nadjib menyelami kompleksitas agama, kemanusiaan, dan keadilan. 


Mari kita jelajahi berbagai aspek dalam buku ini. 

Buku ini tidak mengikuti alur naratif tradisional. Sebaliknya, ini terdiri dari serangkaian kolom yang awalnya diterbitkan di berbagai media. Masing-masing kolom berdiri sendiri, namun bersama-sama membentuk eksplorasi kohesif atas tema-tema mendalam. Gaya penulisan Cak Nun lugas, memungkinkan pembaca terlibat dengan setiap esai secara mandiri.


Sebagai kumpulan esai, “Slilit Sang Kiai” tidak menampilkan pengembangan karakter dalam pengertian konvensional. Namun, suara Cak Nun muncul sebagai tokoh sentral—seorang pengamat yang bijak, pencari kebenaran, dan pembela kemanusiaan. Wawasannya sangat relevan dan mencerahkan. 


Agama dan Pembebasan 

Emha Ainun Nadjib menantang penggambaran statis Islam sebagai sekadar serangkaian perilaku ideal. Ia berargumen bahwa pembebasan sejati tidak terletak pada kepatuhan buta terhadap dogma, namun pada pemahaman kemanusiaan kita bersama dan peningkatan keadilan.


Penulis mengungkap hikmah yang terpendam dalam nasehat-nasehat yang terkesan mistis dari para kiai di pedesaan. Nugget kebijaksanaan ini menekankan kasih sayang, empati, dan upaya menegakkan keadilan. 

Cak Nun mengkritik lanskap dakwah yang tercemar. Ia percaya bahwa tindakan berbicara lebih keras daripada kata-kata, dan dakwah sejati terletak pada perilaku yang baik, bukan retorika. 


Cak Nun menggunakan beberapa teknik sastra: 

Metafora dan Simbolisme. Konsep “slilit” (serpihan bambu) menjadi simbol yang kuat. Ini mewakili tindakan-tindakan yang tampaknya tidak penting yang dapat berdampak besar pada perjalanan rohani kita. 


Anekdot dan Perumpamaan. Penulis merangkai anekdot dan perumpamaan ke dalam esainya, membuat ide-ide kompleks dapat diakses oleh pembaca. 


Nada Percakapan. Gaya percakapan Can Nun mengajak pembaca untuk berefleksi bersamanya. 

Kecepatannya bervariasi—beberapa esai bersifat kontemplatif, sementara yang lain cepat dan jenaka. 


Secara keseluruhan, buku ini menjaga keseimbangan yang baik. Bahasanya mudah diakses, sehingga cocok untuk khalayak luas. 

“Slilit Sang Kiai” mendorong introspeksi dan menantang pemikiran konvensional. 

Wawasan Cak Nun bergema melampaui batas-batas agama, mendorong pembacanya untuk merangkul kasih sayang, keadilan, dan upaya mencapai dunia yang lebih baik.


Saya dengan sepenuh hati merekomendasikan “Slilit Sang Kiai” kepada mereka yang mencari esai yang menggugah pikiran dan melampaui label agama. 

Baik Anda tertarik pada spiritualitas, keadilan sosial, atau sekadar tulisan indah, buku ini menawarkan perspektif yang berharga. 

Karya Emha Ainun Nadjib mengajak kita menari dengan imajinasi, bertanya, dan mencari jalan pembebasan. 

“Slilit Sang Kiai” adalah sebuah perjalanan sastra yang layak untuk dimulai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dolce Far Niente

🌿 Saat waktu tak lagi menuntut, saat angin hanya berbisik pelan. Saat aku duduk di antara cahaya dan bayanganku sendiri.  Tidak ada yang harus diselesaikan. Tidak ada yang perlu dimenangkan. Hanya waktu yang mengalir tenang--berjalan tanpa suara, Dan hanya pikiranku yang menari--mengalir perlahan di dalamnya. Di kedalaman keindahan Sape, Kutemukan laut yang bisa bersenandung, Kurasakan hutan pegunungan yang diam dalam kebijaksanaan.  Aku belajar kearifan masyarakat tepian sungai, menghayati kehalusan hati masyarakat pedalaman hutan. Aku hidup tanpa beban— menghirup manisnya udara--Bahagia tanpa melakukan apa-apa. Dolce far niente...Tiada melakukan apa-apa bukan berarti hampa— tapi adalah suatu keberadaan yang tak membutuhkan pembuktian.

Ramadhan di Balikpapan

Ramadhan telah tiba. Sejak menginjakan kaki di airport Sepinggan enam bulan yang lalu, wekker- ku seolah-olah berputar sangat cepat.  Tiba-tiba saja..,. ujug-ujug sudah memasuki bulan Ramadhan. Ngerti-ngerti wes poso. Puasa tahun pertama di Balikpapan... ........... ☘️......... Ahmad Yani Airport. Akhir September 2023. Flight- ku masih satu jam lagi. Setengah mengantuk aku menuju ke toilet bandara. Cuci muka.. .................. Terasa sangat berbeda. Beberapa tahun lalu, sekitar lima atau enam tahun lalu saat aku masih wira-wiri  Semarang - Jakarta (aku lupa tahun berapa aku terakhir naik pesawat), saat itu airport ini masih belum selesai. Di sana-sini interiorrnya masih under construction . Tapi yang jelas bandara baru ini sudah dioperasikan untuk melayani penerbangan sipil, menggantikan bandara lama yang terletak di sampingnya.  Koridor dari tempat check-in menuju ruang tunggu penumpang masih polos. Bersih. Membosankan.   Hanya saja, yen ora keliru , waktu ...

Kamarintah, Republiken, Kamardikan dan Sego Godog

Sekitar tahun 80-an hingga awal 90-an sebuah gerobak kecil mangkal di seberang jalan Rumah Sakit Tentara Dokter Asmir Salatiga. Setiap malam gerobak tua dengan anglo arang yang selalu menebarkan asap " kemeluk " tebal itu, selalu dipenuhi oleh orang-orang yang asyik ngobrol. Air bekas cucian gelas kotor kopi dan teh bolak-balik dibuang di selokan.  Orang-orang menambahkan gumpalan-gumpalan " keluk " rokok diantara asap arang kelapa dari anglo yang pernah putus. Sego godog. Tangan tua yang dipenuhi keriput, dengan cekatan menuangkan air, menambahkan nasi , menambahkan bumbu. Mengaduk-aduk. Diakhiri dengan " nyiduk " nasi berkuah yang kebul-kebul, menuangkannya ke dalam piring. Begitulah sang tangan tua keriput itu berulang kali menjalankan ritual yang sama. Dan selalu akan ada tangan lain yang berganti-ganti, mengambil dan menerima piring isi nasi berkebul-kebul dari tangan keriputnya. Kadang-kadang di saat rehat, saat semua pelanggannya sudah menerima piri...