Langsung ke konten utama

Tongseng and Tengkleng



Tongseng and tengkleng are two traditional Indonesian dishes that are popular among locals and tourists alike. Both dishes are known for their rich flavors and unique cooking methods, making them a must-try for anyone looking to experience the culinary delights of Indonesia. In this article, I will explore the origins of tongseng and tengkleng, their ingredients, cooking techniques, and cultural significance in Indonesian cuisine.




Tongseng is a spicy stew that originated in Central Java, Indonesia. It is made with tender meat, usually beef or goat, that is stewed with spices such as garlic, shallots, ginger, and chili peppers. The stew is then thickened with coconut milk and flavored with kecap manis (sweet soy sauce) and tamarind paste. Tongseng is typically served with steamed rice and is a popular street food dish in Indonesia.







On the other hand, tengkleng is a traditional dish from Solo, Indonesia. Tengkleng is made with leftover parts of the goat, such as bones, offal, and cartilage, that are cooked in a spicy broth with a variety of spices such as garlic, ginger, galangal, and lemongrass. The dish is typically slow-cooked for several hours to allow the flavors to fully develop, resulting in a rich and flavorful broth that is perfect for soaking up with steamed rice or eaten with ketupat (rice cake).


Both tongseng and tengkleng are known for their bold and spicy flavors, which are achieved through the use of a variety of aromatic spices and herbs. Some of the key ingredients in both dishes include shallots, garlic, ginger, galangal, lemongrass, and chili peppers. These ingredients are carefully selected and combined to create a balanced and harmonious flavor profile that is unique to each dish.


In terms of cooking techniques, tongseng is typically cooked in a wok or a large pot over high heat, while tengkleng is traditionally slow-cooked over a low flame or charcoal fire. The slow-cooking process allows the flavors to fully develop and meld together, resulting in a rich and hearty broth that is packed with umami flavors. Both dishes require a certain level of skill and patience to prepare, but the end result is well worth the effort.


From a cultural standpoint, tongseng and tengkleng are deeply rooted in Indonesian cuisine and are often served during special occasions and celebrations. Both dishes are seen as comfort foods that bring people together and evoke a sense of nostalgia for simpler times. In many parts of Indonesia, tongseng and tengkleng are considered a symbol of hospitality and are often shared with family and friends as a way of showing love and appreciation.


In conclusion, tongseng and tengkleng are two traditional Indonesian dishes that showcase the rich and diverse culinary heritage of the country. Both dishes are known for their bold flavors, unique cooking techniques, and cultural significance in Indonesian cuisine. Whether you are a fan of spicy stews or hearty broths, tongseng and tengkleng are sure to delight your taste buds and leave you craving for more. So the next time you find yourself in Indonesia, be sure to seek out these iconic dishes and experience the true flavors of the archipelago.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ramadhan di Balikpapan

Ramadhan telah tiba. Sejak menginjakan kaki di airport Sepinggan enam bulan yang lalu, wekker- ku seolah-olah berputar sangat cepat.  Tiba-tiba saja..,. ujug-ujug sudah memasuki bulan Ramadhan. Ngerti-ngerti wes poso. Puasa tahun pertama di Balikpapan... ........... ☘️......... Ahmad Yani Airport. Akhir September 2023. Flight- ku masih satu jam lagi. Setengah mengantuk aku menuju ke toilet bandara. Cuci muka.. .................. Terasa sangat berbeda. Beberapa tahun lalu, sekitar lima atau enam tahun lalu saat aku masih wira-wiri  Semarang - Jakarta (aku lupa tahun berapa aku terakhir naik pesawat), saat itu airport ini masih belum selesai. Di sana-sini interiorrnya masih under construction . Tapi yang jelas bandara baru ini sudah dioperasikan untuk melayani penerbangan sipil, menggantikan bandara lama yang terletak di sampingnya.  Koridor dari tempat check-in menuju ruang tunggu penumpang masih polos. Bersih. Membosankan.   Hanya saja, yen ora keliru , waktu itu lukisan raksasa kary

Kamarintah, Republiken, Kamardikan dan Sego Godog..

Sekitar tahun 80-an hingga awal 90-an sebuah gerobak kecil mangkal di seberang jalan Rumah Sakit Tentara Dokter Asmir Salatiga. Setiap malam gerobak tua dengan anglo arang yang selalu menebarkan asap 'kemeluk" tebal itu, selalu dipenuhi oleh orang-orang yang asyik ngobrol. Air bekas cucian gelas kotor kopi dan teh bolak-balik dibuang di selokan.  Orang-orang menambahkan gumpalan-gumpalan "keluk" rokok diantara asap arang kelapa dari anglo yang pernah putus. Sego godog. Tangan tua yang dipenuhi keriput, dengan cekatan menuangkan air, menambahkan nasi , menambahkan bumbu. Mengaduk-aduk. Diakhiri dengan "nyiduk" nasi berkuah yang kebul-kebul, menuangkannya ke dalam piring. Begitulah sang tangan tua keriput itu berulang kali menjalankan ritual yang sama. Dan selalu akan ada tangan lain yang berganti-ganti, mengambil dan menerima piring isi nasi berkebul-kebul dari tangan keriputnya. Kadang-kadang di saat rehat, saat semua pelanggannya sudah menerima piring nasi

LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN

Jam menunjukkan pukul 19.33 WIB saat pesawat Lion Air flight 625 Balikpapan- Semarang mendarat di Airport Ahmad Yani Semarang.  Aku menutup tablet. Bersiap untuk turun.  Aku menengok keluar jendela. I see..... Home.  ......... Sepinggan Airport. Seorang laki-laki Dayak larut dalam tarian. Kaki bergerak berirama, menyapu bumi. Tangan meliuk bagaikan kepakan sayap. Melayang-melayang dalam kedamaian. Mencipta gerakan penuh rasa, menyatu dalam notasi keindahan Sape. Simple is beauty.  La beauté est simple. Keindahan dalam paduan gerak dan irama, melebur ke dalam kemurnian alam. Living in harmony . Nature is mother of culture. Alam memberikan kehidupan. Alam menerima kehidupan. Hubungan kausalitas dalam keseimbangan. ..... Dimanapun kita berada, itu adalah rumah kita.  Ketika pesawat take off pukul 18.50 WITA. Meninggalkan Sepinggan. Dalam hati aku merasa.... I left    my home ,  to go back to my home..  ........... Mobil meluncur di tol Semarang-Salatiga. Persis sebelum rest area Salatig

Sebuah rumah di jalan Kemiri Salatiga

Saya akan bercerita sedikit sambil menunggu kopi yang tak kunjung datang..  Ngene ceritane..dulu...di awal tahun 90-an, aku masih menempuh pendidikan di salah satu SMA di Jl. Kemiri Raya Salatiga.  Saat itu... Ada sebuah rumah besar di daerah Kemiri Candi Salatiga yang sangat menarik perhatianku. Bila kita memandang rumah itu, Nuansanya terasa sangat berbeda. Sangat membumi. Bentuknya agak berbeda dibandingkan dengan rumah-rumah di sekitarnya. Arsitekturnya cukup unik.  Luas dan asri. Itu adalah rumahnya Pak Arief Budiman dan Bu Leila Ch. Budiman...   The house is located in Kemiri Village, Kemiri Candi street, at the foot of Mount Merbabu.  It was built in 1985, after Arief Budiman returned from his doctoral studies at Harvard University. He choose Salatiga as his home because he felt alienated and disappointed by the rapid development and social in justice in Jakarta.  He wanted to live in a more peaceful and natural environment, where he could pursue his academic and artistic intere

Little House In The Prairie

  Laura Jika kamu anak SD atau anak SMP sekitar tahun 1980-an, so pasti dengan tingkat probabilitas cukup tinggi....dan cukup meyakinkan pasti tahu siapa gadis pada gambar di atas.  Ya..Laura. Karakter Laura dalam film Little House In The Prairie diperankan oleh Mellisa Gilbert. Tapi tahukah kamu jika karakter Laura dalam film tersebut sebenarnya adalah personifikasi karakter dari penulis buku Little House In The Prairie itu sendiri?  Siapa penulis cerita Little House in The Prairie? Laura Elizabeth Ingalls Wilder. Laura Elizabeth Ingalls Wilder adalah seorang penulis Amerika yang terkenal dengan seri buku anak-anak Little House on the Prairie , diterbitkan antara tahun 1932 dan 1943, yang merupakan  kisah masa kecilnya di keluarga pemukim dan perintis.  Selama tahun 1970-an dan awal 1980-an, serial NBC-TV Little House on the Prairie didasarkan pada buku-buku Little House. Laura adalah anak kedua dari lima bersaudara yang lahir dari pasangan Caroline dan Charles Ingalls pada tanggal 7

Kemerdekaan Berserikat Berkumpul NGOPI-NGOPI

Deretan rak berisi buku-buku berjejer di sepanjang dinding dekat pintu utama. Sang Owner sepertinya sengaja meletakkan rak buku itu di situ. Bagian terdepan yang pertama akan langsung kita temui adalah buku- buku tua - tebal - kelihatan agak lusuh, jika kita memasuki ruangan itu. Ada photo besar dengan pigura antik. Seorang Belanda bertopi putih, berdiri gagah. Di bawahnya ada deretan pigura-pigura kecil ditata rapi. Penuh dengan photo-photo lawas. Sebuah perkebunan kopi. Berangka tahun 1938.  .,........ Tahun 1929. Loji Belanda bercat putih. Halaman luas. Arsitektur indische.  Gaya arsitektur indische adalah adaptasi dan paduan antara arsitektur Eropa dengan arsitektur lokal tropis Indonesia. Rumah besar ini dibangun oleh  CP Wolff Schoemaker, seorang arsitek berkebangsaan Belanda.  Jendela kayu besar-besar. Lantai keramik teraso. Gazebo taman kecil berada di samping rumah.  " Maria...speel niet in de tuin. Laten we het huis binnengaan. Binnenkort gaat het regenen." Terdenga

Sugih tanpa Banda

Aku mau cerita dikit mengenai syair atau lirik lagu "Sugih Tanpa Banda". Ayok kita ngoceh ngalor ngidul lagi....sinambi ngopi karo nyawang lintang ngalih..  .................. Syair tembang "Sugih Tanpa Banda" ini menggambarkan bagaimana seseorang yang telah mencapai tingkat kesempurnaan dalam tasawuf, yaitu maqam al-fana, yaitu keadaan di mana seseorang telah lenyap dari segala sesuatu selain Allah SWT.   Orang yang telah fana ini merasa kaya tanpa harta, kuat tanpa mantra, menang tanpa merendahkan orang lain, dan bahagia tanpa ada kesedihan.  Orang ini juga menerima apa yang Allah berikan dengan pasrah, tidak mengharapkan balasan, dan memiliki nama yang baik di mata Allah dan manusia.   Syair tembang ini merupakan salah satu karya dari RM Sosrokartono, seorang filsuf dan sufi Jawa yang menguasai 17 bahasa dan banyak ilmu pengetahuan.   Syair ini mengandung ajaran tasawuf Islam yang sangat mendalam dan relevan dengan kehidupan kita sehari-hari.   Tasawuf adalah ilm

10 OF THE MOST FAMOUS AND INSTAGRAM-ABLE COFFEE SHOP IN SALATIGA

 Hello, everyone! Welcome back to my blog, where I share with you my passion for coffee and travel. In this blog, I'm going to take you to Salatiga, a charming city in Central Java, Indonesia, where I visted 10 of the most famous and Instagram-able coffee shops. Salatiga is known for its cool climate, beautiful scenery, and rich culture. It's also a great place to enjoy some of the best coffee in the country.  So, without further ado, let's get started! 1. PINOG COFFEE The first coffee shop that I visited was Pinog Coffee, which was established in 2016. This cafe has a cozy and minimalist interior, with wooden furniture and green plants.  They serve various kinds of coffee, from espresso to manual brew, as well as tea, juice, and smoothies. I ordered a cappuccino and a slice of banana cake, and they were both delicious. The coffee was smooth and creamy, and the cake was moist and fluffy.  I also liked the friendly and attentive service from the staff. 2. CLEVERLY EATERY The

Negeri Para Ksatria Bra Tara

  " Ada sebuah cerita negeri timur raya. Alamnya indah,  penduduknya ramah. Berbagai suku bangsa dan budayanya. Mereka menyebutnya Nusantara. Membentang bagai permata di khatulistiwa. Hijau hutannya, biru lautnya. Berlambang burung Garuda, tersemat di dada. Bhineka Tinggal Ika-lah jiwanya....." Tulisan ini dimulai dengan lirik bait lagu yang ditulis oleh seorang dosen "gaul asyiik" dari salah satu universitas negeri ternama di Yogyakarta.  "Mereka menyebutnya Nusantara."  Kata Nusantara merupakan gabungan kata Nuswa (atau Nusa), Anta dan Tara. Nuswa artnya pulau tempat tinggal. Anta artinya laki-laki kesatria. Tara  artinya mulia.  So.... Nusantara atau Nuswantara berarti pulau atau kepulauan yang merupakan tempat tinggal para kesatria yang mulia.  ........... Lambang burung Garuda pada photo di atas merupakan lambang negara yang tergantung di dinding ruangan hall   pada salah satu bangunan colonial di kota Bogor, Jawa Barat. Bangunan itu  dibangun oleh