Langsung ke konten utama

DAGELAN MATARAMAN

 


Dagelan Mataram is a type of Javanese art, which was born by the Javanese people in Yogyakarta. This joke was born in the Yogyakarta Palace, when GP Hangabehi, the son of Sultan Hamengkubuhono VIII, on every day of his birth, summoned his courtiers to his residence to make people laugh who saw and listened to their chatter. 

In the Kraton tradition, which is not very clear when it started, and is thought to be due to the influence of ancient stories and related to the beliefs and habits of this king, people are included in this group of babbling courtiers who have physical defects and are cute. natural body, which on the king's orders was deliberately sought from all corners of the country. At certain palace ceremonies, such as wedding ceremonies, these strange people were given the task of carrying out a ceremony called crazy in front of the bride and groom. They ride lumping horses while moving and dancing. Prince Hangabehi paid great attention to art, especially humor. 

Prince Hangabehi seemed to be very happy about this, because because he had to play in front of his royal relatives, these courtiers also had to pay attention to politeness. In the courtyard of Dalem Ngabean, where Prince Hangabehi lived, there stood a Dutch radio transmitter called MAVRO (Mataramsche Vereneging Radio Omroep). One of MAVRO's routine broadcasts is uyon - uyon Javanese gending. 

On the initiative of the Pangerahn, who of course had ample opportunity to broadcast on Dutch radio, the jokes of the courtiers' ramblings were broadcast as interludes on the Javanese Gending uyon - uyon broadcast. This interlude is given the name "Dagelan". 

After experiencing various developments in its standard form, this slapstick now appears with the following characteristics: 

(1) contains a certain story; 

(2) using Javanese as the language of instruction; 

(3) the story material is taken from the social and cultural life of Javanese society; 

(4) accompanied by gamelan and sinden as illustrations; 

(5) sometimes using dances; 

(6) players sometimes sing songs; 

(7) wearing Javanese costumes or clothing derived from other Javanese arts. 

Equipment such as gamelan, sinden, dances, songs, costumes, can be used to tell jokes or be used as joke material. Apart from that, Javanese traditions and manners, Yogyakarta in particular, really give color to the style of speaking and the style of conveying the stories that are presented. With such characteristics and completeness, Dagelan Mataram once appeared strongly and was welcomed and widely accepted by Javanese society, when modern Western culture and its results had not had much influence on Indonesian culture in general and Javanese culture in particular as it is today. 

This situation was also supported by the scarcity of types of entertainment that existed at that time. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dolce Far Niente

🌿 Saat waktu tak lagi menuntut, saat angin hanya berbisik pelan. Saat aku duduk di antara cahaya dan bayanganku sendiri.  Tidak ada yang harus diselesaikan. Tidak ada yang perlu dimenangkan. Hanya waktu yang mengalir tenang--berjalan tanpa suara, Dan hanya pikiranku yang menari--mengalir perlahan di dalamnya. Di kedalaman keindahan Sape, Kutemukan laut yang bisa bersenandung, Kurasakan hutan pegunungan yang diam dalam kebijaksanaan.  Aku belajar kearifan masyarakat tepian sungai, menghayati kehalusan hati masyarakat pedalaman hutan. Aku hidup tanpa beban— menghirup manisnya udara--Bahagia tanpa melakukan apa-apa. Dolce far niente...Tiada melakukan apa-apa bukan berarti hampa— tapi adalah suatu keberadaan yang tak membutuhkan pembuktian.

Ramadhan di Balikpapan

Ramadhan telah tiba. Sejak menginjakan kaki di airport Sepinggan enam bulan yang lalu, wekker- ku seolah-olah berputar sangat cepat.  Tiba-tiba saja..,. ujug-ujug sudah memasuki bulan Ramadhan. Ngerti-ngerti wes poso. Puasa tahun pertama di Balikpapan... ........... ☘️......... Ahmad Yani Airport. Akhir September 2023. Flight- ku masih satu jam lagi. Setengah mengantuk aku menuju ke toilet bandara. Cuci muka.. .................. Terasa sangat berbeda. Beberapa tahun lalu, sekitar lima atau enam tahun lalu saat aku masih wira-wiri  Semarang - Jakarta (aku lupa tahun berapa aku terakhir naik pesawat), saat itu airport ini masih belum selesai. Di sana-sini interiorrnya masih under construction . Tapi yang jelas bandara baru ini sudah dioperasikan untuk melayani penerbangan sipil, menggantikan bandara lama yang terletak di sampingnya.  Koridor dari tempat check-in menuju ruang tunggu penumpang masih polos. Bersih. Membosankan.   Hanya saja, yen ora keliru , waktu ...

Kamarintah, Republiken, Kamardikan dan Sego Godog

Sekitar tahun 80-an hingga awal 90-an sebuah gerobak kecil mangkal di seberang jalan Rumah Sakit Tentara Dokter Asmir Salatiga. Setiap malam gerobak tua dengan anglo arang yang selalu menebarkan asap " kemeluk " tebal itu, selalu dipenuhi oleh orang-orang yang asyik ngobrol. Air bekas cucian gelas kotor kopi dan teh bolak-balik dibuang di selokan.  Orang-orang menambahkan gumpalan-gumpalan " keluk " rokok diantara asap arang kelapa dari anglo yang pernah putus. Sego godog. Tangan tua yang dipenuhi keriput, dengan cekatan menuangkan air, menambahkan nasi , menambahkan bumbu. Mengaduk-aduk. Diakhiri dengan " nyiduk " nasi berkuah yang kebul-kebul, menuangkannya ke dalam piring. Begitulah sang tangan tua keriput itu berulang kali menjalankan ritual yang sama. Dan selalu akan ada tangan lain yang berganti-ganti, mengambil dan menerima piring isi nasi berkebul-kebul dari tangan keriputnya. Kadang-kadang di saat rehat, saat semua pelanggannya sudah menerima piri...