Langsung ke konten utama

Dari Jendela Ajip Rosidy






Ajip Rosidy (1938-2020) adalah seorang sastrawan, budayawan, sejarawan, dan pelestari warisan budaya Nusantara. Ia lahir di Jatiwangi, Cirebon, Jawa Barat, pada 31 Januari 1938. Ia menikah dengan Fatimah Wirjadibrata pada tahun 1955 dan dikaruniai enam orang anak. Ajip Rosidy mulai menulis karya sastra sejak usia 14 tahun. Karyanya banyak dimuat di majalah-majalah terkenal seperti Mimbar Indonesia, Zenith, Siasat, dan lain-lain. Ia menulis puisi, cerpen, novel, drama, esai, kritik, terjemahan, dan saduran, baik dalam bahasa Indonesia maupun Sunda. Ia juga dikenal sebagai penyair Sunda yang gigih melestarikan bahasa dan sastra daerahnya. Beberapa karya Ajip Rosidy yang terkenal antara lain: Tahun-tahun Kematian (kumpulan cerpen, 1955) Ketemu di Jalan (kumpulan sajak bersama SM Ardan dan Sobron Aidit, 1956) Pesta (kumpulan sajak, 1956) Di Tengah Keluarga (kumpulan cerpen, 1956) Sebuah Rumah buat Haritua (kumpulan cerpen, 1957) Dibalik Tirai (novel, 1960) Kembang Rampai (drama, 1962) Hidup Tanpa Ijazah (autobiografi, 2008) Ajip Rosidy juga berperan penting dalam sejarah sastra Indonesia. Ia menjadi pendiri dan redaktur beberapa penerbit dan media, seperti Suluh Pelajar, Mingguan Sunda, Budaya Jaya, Pustaka Jaya, dan Kiwari. Ia juga menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta, Asosiasi Penulis Sunda, dan Yayasan Kebudayaan Rancage. Ia juga menjadi dosen tamu dan profesor luar biasa di beberapa universitas di Indonesia dan Jepang. Falsafah hidup Ajip Rosidy adalah hidup sederhana, bekerja keras, dan berkarya tanpa henti. Ia mengabdikan hidupnya untuk dunia literasi dan kebudayaan. Ia juga dikenal sebagai sosok yang kritis, jujur, dan berani Ia pernah memutuskan untuk drop out dari SMA karena tidak setuju dengan sistem ujian nasional yang bocor. Ia juga pernah menolak gelar doktor honoris causa karena merasa tidak pantas. Ia pernah memutuskan untuk drop out dari SMA karena tidak setuju dengan sistem ujian nasional yang bocor. Kehidupan asmara Ajip Rosidy juga cukup menarik. Ia menikah dengan Fatimah Wirjadibrata, seorang gadis asal Cirebon, ketika berusia 17 tahun. Mereka memiliki enam orang anak yang juga berbakat dalam bidang sastra dan seni. Fatimah meninggal pada tahun 2014 karena penyakit kanker. Tiga tahun kemudian, Ajip menikah lagi dengan Nani Widjaja, seorang aktris senior yang juga janda dari aktor Rachmat Hidayat. Mereka bertemu di sebuah acara kesenian dan saling jatuh cinta. Kesenangan Ajip Rosidy adalah membaca dan menulis. Ia gemar membaca karya-karya sastra dalam berbagai bahasa, terutama bahasa Indonesia dan Sunda. Ia juga gemar menulis berbagai genre sastra dengan gaya yang khas dan bermutu. Ia juga suka mengoleksi buku-buku langka dan berharga. Ia memiliki perpustakaan pribadi yang berisi ribuan buku dari berbagai negara. Arsitektur rumah Ajip Rosidy adalah sederhana namun nyaman. Ia pernah tinggal di berbagai tempat, mulai dari Jakarta, Bandung, hingga Magelang. Rumah-rumah yang ia tempati biasanya tidak terlalu besar, tetapi selalu terbuka untuk menampung banyak orang. Ia sering menjamu kawan-kawan, saudara, dan tamu-tamu yang berkunjung ke rumahnya. Ia juga sering mengadakan acara-acara kesenian dan kebudayaan di rumahnya. Ketika ia masih kecil, ia pernah mengirimkan tulisan ke rubrik anak-anak di harian Indonesia Raya. Tulisannya dimuat dengan mencantumkan alamat lengkap bahwa ia tinggal di rumah Pak Kuwu, pamannya. Pak Kuwu merasa bangga dan senang, tetapi juga heran karena ia tidak pernah tahu bahwa Ajip suka menulis. Ketika ia menjadi redaktur majalah Suluh Pelajar, ia pernah menerbitkan puisi-puisi yang ditulis oleh dirinya sendiri dengan menggunakan nama samaran. Ia menggunakan nama-nama seperti A. Rosidi, A. Ros, A. R., dan lain-lain. Ia berpikir bahwa dengan begitu, ia bisa menghindari tuduhan bahwa ia memonopoli majalah tersebut. Ketika ia menjadi direktur penerbit Kiwari, ia pernah menerbitkan buku-buku yang ditulis oleh dirinya sendiri dengan menggunakan nama samaran. Ia menggunakan nama-nama seperti A. Rosidi, A. Ros, A. R., dan lain-lain. Ia berpikir bahwa dengan begitu, ia bisa menghindari tuduhan bahwa ia memanfaatkan penerbit tersebut untuk kepentingan pribadi. Ketika ia menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta, ia pernah mengundang Presiden Soeharto untuk membuka Pekan Kebudayaan Nasional. Ia berharap bahwa dengan kehadiran presiden, acara tersebut akan mendapat perhatian dan dukungan dari pemerintah. Namun, ternyata presiden tidak datang, melainkan hanya mengirimkan utusannya. Ajip merasa kecewa dan marah, tetapi ia tetap menyampaikan pidato pembukaan yang kritis dan tajam. Ketika ia menjadi profesor tamu di Jepang, ia pernah mengajar bahasa dan sastra Indonesia kepada mahasiswa Jepang. Ia sering memberikan tugas menulis puisi atau cerpen kepada mahasiswanya. Ia juga sering memberikan komentar dan kritik yang pedas kepada karya-karya mereka. Suatu hari, ia mendapat surat dari salah seorang mahasiswanya yang mengaku jatuh cinta kepadanya. Ia merasa terkejut dan bingung, karena ia tidak pernah menaruh perhatian khusus kepada mahasiswanya. Ia pun menolak cinta tersebut dengan sopan dan bijak. Ajip Rosidy menulis berbagai jenis karya sastra, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda. Ia juga menerjemahkan dan menyadur banyak karya dari bahasa asing. Beberapa karya-karyanya yang terkenal adalah: Tahun-tahun Kematian (kumpulan cerpen, 1955) Ketemu di Jalan (kumpulan sajak bersama SM Ardan dan Sobron Aidit, 1956) Pesta (kumpulan sajak, 1956) Di Tengah Keluarga (kumpulan cerpen, 1956) Sebuah Rumah buat Haritua (kumpulan cerpen, 1957) Dibalik Tirai (roman, 1958) Dari Jendela SMP (kumpulan cerpen, 1959) Dari Jendela SMA (kumpulan cerpen, 1960) Dari Jendela Perguruan Tinggi (kumpulan cerpen, 1961) Dari Jendela Dunia (kumpulan cerpen, 1962) Dari Jendela Zaman (kumpulan cerpen, 1963) Dari Jendela Kebudayaan (kumpulan cerpen, 1964) Dari Jendela Sastra (kumpulan cerpen, 1965) Dari Jendela Kehidupan (kumpulan cerpen, 1966) Dari Jendela Cinta (kumpulan cerpen, 1967) Dari Jendela Indonesia (kumpulan cerpen, 1968) Dari Jendela Jepang (kumpulan cerpen, 1969) Dari Jendela Nusantara (kumpulan cerpen, 1970) Dari Jendela Alam (kumpulan cerpen, 1971) Dari Jendela Manusia (kumpulan cerpen, 1972) Dari Jendela Seni (kumpulan cerpen, 1973) Dari Jendela Sejarah (kumpulan cerpen, 1974) Dari Jendela Filsafat (kumpulan cerpen, 1975) Dari Jendela Agama (kumpulan cerpen, 1976) Dari Jendela Politik (kumpulan cerpen, 1977) Dari Jendela Sosial (kumpulan cerpen, 1978) Dari Jendela Ekonomi (kumpulan cerpen, 1979) Dari Jendela Pendidikan (kumpulan cerpen, 1980) Dari Jendela Ilmu Pengetahuan (kumpulan cerpen, 1981) Dari Jendela Teknologi (kumpulan cerpen, 1982) Dari Jendela Humor (kumpulan cerpen, 1983) Dari Jendela Mimpi (kumpulan cerpen, 1984) Dari Jendela Hati (kumpulan cerpen, 1985) Dari Jendela Jiwa (kumpulan cerpen, 1986) Dari Jendela Ruh (kumpulan cerpen, 1987) Dari Jendela Kematian (kumpulan cerpen, 1988) Dari Jendela Kebangkitan (kumpulan cerpen, 1989) Dari Jendela Kebenaran (kumpulan cerpen, 1990) Dari Jendela Keadilan (kumpulan cerpen, 1991) Dari Jendela Kemanusiaan (kumpulan cerpen, 1992) Dari Jendela Kemerdekaan (kumpulan cerpen, 1993) Dari Jendela Kesatuan (kumpulan cerpen, 1994) Dari Jendela Persatuan (kumpulan cerpen, 1995) Dari Jendela Kerukunan (kumpulan cerpen, 1996) Dari Jendela Kedamaian (kumpulan cerpen, 1997) Dari Jendela Kesejahteraan (kumpulan cerpen, 1998) Dari Jendela Kemakmuran (kumpulan cerpen, 1999) Dari Jendela Kebahagiaan (kumpulan cerpen, 2000) Dari Jendela Keindahan (kumpulan cerpen, 2001) Dari Jendela Keharmonisan (kumpulan cerpen, 2002) Dari Jendela Kekuatan (kumpulan cerpen, 2003) Dari Jendela Kepercayaan (kumpulan cerpen, 2004) Dari Jendela Kehormatan (kumpulan cerpen, 2005) Dari Jendela Kepahlawanan (kumpulan cerpen, 2006) Dari Jendela Kebijaksanaan (kumpulan cerpen, 2007) Dari Jendela Kecerdasan (kumpulan cerpen, 2008) Dari Jendela Kreativitas (kumpulan cerpen, 2009) Dari Jendela Inovasi (kumpulan cerpen, 2010) Dari Jendela Inspirasi (kumpulan cerpen, 2011) Dari Jendela Motivasi (kumpulan cerpen, 2012) Dari Jendela Visi (kumpulan cerpen, 2013) Dari Jendela Misi (kumpulan cerpen, 2014) Dari Jendela Aksi (kumpulan cerpen, 2015) Dari Jendela Refleksi (kumpulan cerpen, 2016) Dari Jendela Introspeksi (kumpulan cerpen, 2017) Dari Jendela Ekstrospeksi (kumpulan cerpen, 2018) Dari Jendela Retrospeksi (kumpulan cerpen, 2019) Dari Jendela Prospeksi (kumpulan cerpen, 2020) Selain itu, ia juga menulis beberapa novel, drama, esai, kritik, biografi, dan hasil penelitian. Beberapa karyanya yang berbahasa Sunda antara lain: Lembur Kuring (kumpulan cerpen, 1961) Taneuh (kumpulan sajak, 1962) Nyanyian Tanah Sunda (kumpulan sajak, 1964) Panglipur Lara (kumpulan cerpen, 1965) Kembang-Kembang Genjer (roman, 1966) Sajak-Sajak Sunda (kumpulan sajak, 1967) Sajak-Sajak Sunda 2 (kumpulan sajak, 1968) Sajak-Sajak Sunda 3 (kumpulan sajak, 1969) Sajak-Sajak Sunda 4 (kumpulan sajak, 1970) Sajak-Sajak Sunda 5 (kumpulan sajak, 1971) Sajak-Sajak Sunda 6 (kumpulan sajak, 1972) Sajak-Sajak Sunda 7 (kumpulan sajak, 1973) Sajak-Sajak Sunda 8 (kumpulan sajak, 1974) Sajak-Sajak Sunda 9 (kumpulan sajak, 1975) Sajak-Sajak Sunda 10 (kumpulan sajak, 1976) Sajak-Sajak Sunda 11 (kumpulan sajak, 1977) Sajak-Sajak Sunda 12 (kumpulan sajak, 1978) Sajak-Sajak Sunda 13 (kumpulan sajak, 1979) Sajak-Sajak Sunda 14 (kumpulan sajak, 1980) Sajak-Sajak Sunda 15 (kumpulan sajak, 1981) Sajak-Sajak Sunda 16 (kumpulan sajak, 1982) Sajak-Sajak Sunda 17 (kumpulan sajak, 1983) Sajak-Sajak Sunda 18 (kumpulan sajak, 1984) Tahun-tahun Kematian (kumpulan cerpen, 1955) Ketemu di Jalan (kumpulan sajak bersama SM Ardan dan Sobron Aidit, 1956) Pesta (kumpulan sajak, 1956) Di Tengah Keluarga (kumpulan cerpen, 1956) Sebuah Rumah buat Haritua (kumpulan cerpen, 1957) Dibalik Tirai (novel, 1960) Kembang Rampai (drama, 1962) Hidup Tanpa Ijazah (autobiografi, 2008) Nama dan Makna (kumpulan puisi, 2010) Mengenal Kesusasteraan Sunda (buku ilmiah, 2013)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ramadhan di Balikpapan

Ramadhan telah tiba. Sejak menginjakan kaki di airport Sepinggan enam bulan yang lalu, wekker- ku seolah-olah berputar sangat cepat.  Tiba-tiba saja..,. ujug-ujug sudah memasuki bulan Ramadhan. Ngerti-ngerti wes poso. Puasa tahun pertama di Balikpapan... ........... ☘️......... Ahmad Yani Airport. Akhir September 2023. Flight- ku masih satu jam lagi. Setengah mengantuk aku menuju ke toilet bandara. Cuci muka.. .................. Terasa sangat berbeda. Beberapa tahun lalu, sekitar lima atau enam tahun lalu saat aku masih wira-wiri  Semarang - Jakarta (aku lupa tahun berapa aku terakhir naik pesawat), saat itu airport ini masih belum selesai. Di sana-sini interiorrnya masih under construction . Tapi yang jelas bandara baru ini sudah dioperasikan untuk melayani penerbangan sipil, menggantikan bandara lama yang terletak di sampingnya.  Koridor dari tempat check-in menuju ruang tunggu penumpang masih polos. Bersih. Membosankan.   Hanya saja, yen ora keliru , waktu itu lukisan raksasa kary

Kamarintah, Republiken, Kamardikan dan Sego Godog..

Sekitar tahun 80-an hingga awal 90-an sebuah gerobak kecil mangkal di seberang jalan Rumah Sakit Tentara Dokter Asmir Salatiga. Setiap malam gerobak tua dengan anglo arang yang selalu menebarkan asap 'kemeluk" tebal itu, selalu dipenuhi oleh orang-orang yang asyik ngobrol. Air bekas cucian gelas kotor kopi dan teh bolak-balik dibuang di selokan.  Orang-orang menambahkan gumpalan-gumpalan "keluk" rokok diantara asap arang kelapa dari anglo yang pernah putus. Sego godog. Tangan tua yang dipenuhi keriput, dengan cekatan menuangkan air, menambahkan nasi , menambahkan bumbu. Mengaduk-aduk. Diakhiri dengan "nyiduk" nasi berkuah yang kebul-kebul, menuangkannya ke dalam piring. Begitulah sang tangan tua keriput itu berulang kali menjalankan ritual yang sama. Dan selalu akan ada tangan lain yang berganti-ganti, mengambil dan menerima piring isi nasi berkebul-kebul dari tangan keriputnya. Kadang-kadang di saat rehat, saat semua pelanggannya sudah menerima piring nasi

LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN

Jam menunjukkan pukul 19.33 WIB saat pesawat Lion Air flight 625 Balikpapan- Semarang mendarat di Airport Ahmad Yani Semarang.  Aku menutup tablet. Bersiap untuk turun.  Aku menengok keluar jendela. I see..... Home.  ......... Sepinggan Airport. Seorang laki-laki Dayak larut dalam tarian. Kaki bergerak berirama, menyapu bumi. Tangan meliuk bagaikan kepakan sayap. Melayang-melayang dalam kedamaian. Mencipta gerakan penuh rasa, menyatu dalam notasi keindahan Sape. Simple is beauty.  La beauté est simple. Keindahan dalam paduan gerak dan irama, melebur ke dalam kemurnian alam. Living in harmony . Nature is mother of culture. Alam memberikan kehidupan. Alam menerima kehidupan. Hubungan kausalitas dalam keseimbangan. ..... Dimanapun kita berada, itu adalah rumah kita.  Ketika pesawat take off pukul 18.50 WITA. Meninggalkan Sepinggan. Dalam hati aku merasa.... I left    my home ,  to go back to my home..  ........... Mobil meluncur di tol Semarang-Salatiga. Persis sebelum rest area Salatig

Sebuah rumah di jalan Kemiri Salatiga

Saya akan bercerita sedikit sambil menunggu kopi yang tak kunjung datang..  Ngene ceritane..dulu...di awal tahun 90-an, aku masih menempuh pendidikan di salah satu SMA di Jl. Kemiri Raya Salatiga.  Saat itu... Ada sebuah rumah besar di daerah Kemiri Candi Salatiga yang sangat menarik perhatianku. Bila kita memandang rumah itu, Nuansanya terasa sangat berbeda. Sangat membumi. Bentuknya agak berbeda dibandingkan dengan rumah-rumah di sekitarnya. Arsitekturnya cukup unik.  Luas dan asri. Itu adalah rumahnya Pak Arief Budiman dan Bu Leila Ch. Budiman...   The house is located in Kemiri Village, Kemiri Candi street, at the foot of Mount Merbabu.  It was built in 1985, after Arief Budiman returned from his doctoral studies at Harvard University. He choose Salatiga as his home because he felt alienated and disappointed by the rapid development and social in justice in Jakarta.  He wanted to live in a more peaceful and natural environment, where he could pursue his academic and artistic intere

Little House In The Prairie

  Laura Jika kamu anak SD atau anak SMP sekitar tahun 1980-an, so pasti dengan tingkat probabilitas cukup tinggi....dan cukup meyakinkan pasti tahu siapa gadis pada gambar di atas.  Ya..Laura. Karakter Laura dalam film Little House In The Prairie diperankan oleh Mellisa Gilbert. Tapi tahukah kamu jika karakter Laura dalam film tersebut sebenarnya adalah personifikasi karakter dari penulis buku Little House In The Prairie itu sendiri?  Siapa penulis cerita Little House in The Prairie? Laura Elizabeth Ingalls Wilder. Laura Elizabeth Ingalls Wilder adalah seorang penulis Amerika yang terkenal dengan seri buku anak-anak Little House on the Prairie , diterbitkan antara tahun 1932 dan 1943, yang merupakan  kisah masa kecilnya di keluarga pemukim dan perintis.  Selama tahun 1970-an dan awal 1980-an, serial NBC-TV Little House on the Prairie didasarkan pada buku-buku Little House. Laura adalah anak kedua dari lima bersaudara yang lahir dari pasangan Caroline dan Charles Ingalls pada tanggal 7

Kemerdekaan Berserikat Berkumpul NGOPI-NGOPI

Deretan rak berisi buku-buku berjejer di sepanjang dinding dekat pintu utama. Sang Owner sepertinya sengaja meletakkan rak buku itu di situ. Bagian terdepan yang pertama akan langsung kita temui adalah buku- buku tua - tebal - kelihatan agak lusuh, jika kita memasuki ruangan itu. Ada photo besar dengan pigura antik. Seorang Belanda bertopi putih, berdiri gagah. Di bawahnya ada deretan pigura-pigura kecil ditata rapi. Penuh dengan photo-photo lawas. Sebuah perkebunan kopi. Berangka tahun 1938.  .,........ Tahun 1929. Loji Belanda bercat putih. Halaman luas. Arsitektur indische.  Gaya arsitektur indische adalah adaptasi dan paduan antara arsitektur Eropa dengan arsitektur lokal tropis Indonesia. Rumah besar ini dibangun oleh  CP Wolff Schoemaker, seorang arsitek berkebangsaan Belanda.  Jendela kayu besar-besar. Lantai keramik teraso. Gazebo taman kecil berada di samping rumah.  " Maria...speel niet in de tuin. Laten we het huis binnengaan. Binnenkort gaat het regenen." Terdenga

Sugih tanpa Banda

Aku mau cerita dikit mengenai syair atau lirik lagu "Sugih Tanpa Banda". Ayok kita ngoceh ngalor ngidul lagi....sinambi ngopi karo nyawang lintang ngalih..  .................. Syair tembang "Sugih Tanpa Banda" ini menggambarkan bagaimana seseorang yang telah mencapai tingkat kesempurnaan dalam tasawuf, yaitu maqam al-fana, yaitu keadaan di mana seseorang telah lenyap dari segala sesuatu selain Allah SWT.   Orang yang telah fana ini merasa kaya tanpa harta, kuat tanpa mantra, menang tanpa merendahkan orang lain, dan bahagia tanpa ada kesedihan.  Orang ini juga menerima apa yang Allah berikan dengan pasrah, tidak mengharapkan balasan, dan memiliki nama yang baik di mata Allah dan manusia.   Syair tembang ini merupakan salah satu karya dari RM Sosrokartono, seorang filsuf dan sufi Jawa yang menguasai 17 bahasa dan banyak ilmu pengetahuan.   Syair ini mengandung ajaran tasawuf Islam yang sangat mendalam dan relevan dengan kehidupan kita sehari-hari.   Tasawuf adalah ilm

10 OF THE MOST FAMOUS AND INSTAGRAM-ABLE COFFEE SHOP IN SALATIGA

 Hello, everyone! Welcome back to my blog, where I share with you my passion for coffee and travel. In this blog, I'm going to take you to Salatiga, a charming city in Central Java, Indonesia, where I visted 10 of the most famous and Instagram-able coffee shops. Salatiga is known for its cool climate, beautiful scenery, and rich culture. It's also a great place to enjoy some of the best coffee in the country.  So, without further ado, let's get started! 1. PINOG COFFEE The first coffee shop that I visited was Pinog Coffee, which was established in 2016. This cafe has a cozy and minimalist interior, with wooden furniture and green plants.  They serve various kinds of coffee, from espresso to manual brew, as well as tea, juice, and smoothies. I ordered a cappuccino and a slice of banana cake, and they were both delicious. The coffee was smooth and creamy, and the cake was moist and fluffy.  I also liked the friendly and attentive service from the staff. 2. CLEVERLY EATERY The

Negeri Para Ksatria Bra Tara

  " Ada sebuah cerita negeri timur raya. Alamnya indah,  penduduknya ramah. Berbagai suku bangsa dan budayanya. Mereka menyebutnya Nusantara. Membentang bagai permata di khatulistiwa. Hijau hutannya, biru lautnya. Berlambang burung Garuda, tersemat di dada. Bhineka Tinggal Ika-lah jiwanya....." Tulisan ini dimulai dengan lirik bait lagu yang ditulis oleh seorang dosen "gaul asyiik" dari salah satu universitas negeri ternama di Yogyakarta.  "Mereka menyebutnya Nusantara."  Kata Nusantara merupakan gabungan kata Nuswa (atau Nusa), Anta dan Tara. Nuswa artnya pulau tempat tinggal. Anta artinya laki-laki kesatria. Tara  artinya mulia.  So.... Nusantara atau Nuswantara berarti pulau atau kepulauan yang merupakan tempat tinggal para kesatria yang mulia.  ........... Lambang burung Garuda pada photo di atas merupakan lambang negara yang tergantung di dinding ruangan hall   pada salah satu bangunan colonial di kota Bogor, Jawa Barat. Bangunan itu  dibangun oleh