Langsung ke konten utama

Sebuah rumah di jalan Kemiri Salatiga

Saya akan bercerita sedikit sambil menunggu kopi yang tak kunjung datang.. 

Ngene ceritane..dulu...di awal tahun 90-an, aku masih menempuh pendidikan di salah satu SMA di Jl. Kemiri Raya Salatiga. 

Saat itu...

Ada sebuah rumah besar di daerah Kemiri Candi Salatiga yang sangat menarik perhatianku. Bila kita memandang rumah itu, Nuansanya terasa sangat berbeda. Sangat membumi. Bentuknya agak berbeda dibandingkan dengan rumah-rumah di sekitarnya. Arsitekturnya cukup unik.  Luas dan asri. Itu adalah rumahnya Pak Arief Budiman dan Bu Leila Ch. Budiman... 





 The house is located in Kemiri Village, Kemiri Candi street, at the foot of Mount Merbabu. 

It was built in 1985, after Arief Budiman returned from his doctoral studies at Harvard University. He choose Salatiga as his home because he felt alienated and disappointed by the rapid development and social in justice in Jakarta. 

He wanted to live in a more peaceful and natural environment, where he could pursue his academic and artistic interest.

The house is inspired by the traditional Javanese joglo, a wooden structure with a high-pitched roof and a spacious interior. Desaigned by Romo Mangun. 

The house is made of local materials, such as teak wood, bamboo, and clay tiles. 


The house has a simple and minimalist appearance, but it is also rich in details and ornaments, such as carvings, paintings, and sculptures. 

 The house consists of several buildings that are connected by walk-ways and courtyards. The main building is the living room, where Arief Budiman used to host guests, lectures, and discussions. 

The living room is decorated with various books, artworks, and memorabilia that reflect his diverse interests and achievements. The other buildings are the bedrooms, the kitchen, the library, the studio, and the guest house. The house is surrounded by a lush and colorful garden, where Arief Budiman planted various flowers, fruits, and vegetables. 

He also kept some animals, such as chickens, ducks, and cats. The garden is a place for relaxation, meditation, and inspiration. 

Arief Budiman often wrote his essays, poems, and stories in the garden, while enjoying the fresh air and the scenic view of the mountain. 

 The house is not only a personal space, but also a public one. Arief Budiman opened his house to anyone who wanted to visit, learn, or collaborate with him. 

He welcomed students, scholars, artists, activists, journalists, and politicians from different backgrounds and perspectives. He also organized various events, such as workshops, exhibitions, concerts, and festivals, in his house. He wanted to create a space for dialogue, exchange, and creativity. 

 The house is a testament to Arief Budiman’s life and work. It is a place where he expressed his ideas, values, and passions. It is also a place where he contributed to the development of Indonesian society and culture. 

The house is a legacy that he left behind for the next generations to appreciate and continue. 

. . . . . . . .


 Arep takon opo?

 If you have any questions or comments, please let me know. Thank you for your attention and interest. 

Have a nice day...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dolce Far Niente

🌿 Saat waktu tak lagi menuntut, saat angin hanya berbisik pelan. Saat aku duduk di antara cahaya dan bayanganku sendiri.  Tidak ada yang harus diselesaikan. Tidak ada yang perlu dimenangkan. Hanya waktu yang mengalir tenang--berjalan tanpa suara, Dan hanya pikiranku yang menari--mengalir perlahan di dalamnya. Di kedalaman keindahan Sape, Kutemukan laut yang bisa bersenandung, Kurasakan hutan pegunungan yang diam dalam kebijaksanaan.  Aku belajar kearifan masyarakat tepian sungai, menghayati kehalusan hati masyarakat pedalaman hutan. Aku hidup tanpa beban— menghirup manisnya udara--Bahagia tanpa melakukan apa-apa. Dolce far niente...Tiada melakukan apa-apa bukan berarti hampa— tapi adalah suatu keberadaan yang tak membutuhkan pembuktian.

Ramadhan di Balikpapan

Ramadhan telah tiba. Sejak menginjakan kaki di airport Sepinggan enam bulan yang lalu, wekker- ku seolah-olah berputar sangat cepat.  Tiba-tiba saja..,. ujug-ujug sudah memasuki bulan Ramadhan. Ngerti-ngerti wes poso. Puasa tahun pertama di Balikpapan... ........... ☘️......... Ahmad Yani Airport. Akhir September 2023. Flight- ku masih satu jam lagi. Setengah mengantuk aku menuju ke toilet bandara. Cuci muka.. .................. Terasa sangat berbeda. Beberapa tahun lalu, sekitar lima atau enam tahun lalu saat aku masih wira-wiri  Semarang - Jakarta (aku lupa tahun berapa aku terakhir naik pesawat), saat itu airport ini masih belum selesai. Di sana-sini interiorrnya masih under construction . Tapi yang jelas bandara baru ini sudah dioperasikan untuk melayani penerbangan sipil, menggantikan bandara lama yang terletak di sampingnya.  Koridor dari tempat check-in menuju ruang tunggu penumpang masih polos. Bersih. Membosankan.   Hanya saja, yen ora keliru , waktu ...

Kamarintah, Republiken, Kamardikan dan Sego Godog

Sekitar tahun 80-an hingga awal 90-an sebuah gerobak kecil mangkal di seberang jalan Rumah Sakit Tentara Dokter Asmir Salatiga. Setiap malam gerobak tua dengan anglo arang yang selalu menebarkan asap " kemeluk " tebal itu, selalu dipenuhi oleh orang-orang yang asyik ngobrol. Air bekas cucian gelas kotor kopi dan teh bolak-balik dibuang di selokan.  Orang-orang menambahkan gumpalan-gumpalan " keluk " rokok diantara asap arang kelapa dari anglo yang pernah putus. Sego godog. Tangan tua yang dipenuhi keriput, dengan cekatan menuangkan air, menambahkan nasi , menambahkan bumbu. Mengaduk-aduk. Diakhiri dengan " nyiduk " nasi berkuah yang kebul-kebul, menuangkannya ke dalam piring. Begitulah sang tangan tua keriput itu berulang kali menjalankan ritual yang sama. Dan selalu akan ada tangan lain yang berganti-ganti, mengambil dan menerima piring isi nasi berkebul-kebul dari tangan keriputnya. Kadang-kadang di saat rehat, saat semua pelanggannya sudah menerima piri...