Langsung ke konten utama

Blangkon ..Blank-On?



Blangkon adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang sangat terkenal. Blangkon tidak hanya berfungsi sebagai aksesori mode, tetapi juga memiliki makna filosofis yang dalam dan menginspirasi. Blangkon terbuat dari kain batik yang dilipat, dililit, dan dijahit sehingga berbentuk seperti topi. Blangkon biasanya dipakai oleh para pria Jawa dalam berbagai acara, baik formal maupun informal. Salah satu ciri khas dari blangkon adalah jumlah lipatan kain yang membentuknya. Jumlah lipatan kain ini tidak sembarangan, tetapi memiliki simbol dan makna tertentu. Menurut beberapa sumber makna simbolis dari umlah lipatan kain pembentuk blangkon adalah sebagai berikut : 1. 17 lipatan di sisi kiri dan kanan (wiron). Lipatan ini melambangkan adanya 17 rakaat dalam 5 waktu shalat, yaitu 2 rakaat shalat subuh, 4 rakaat shalat zuhur, 4 rakaat shalat ashar, 3 rakaat shalat maghrib, dan 4 rakaat shalat isya. Lipatan ini mengingatkan kita untuk menjalankan ibadah shalat sebagai kewajiban utama sebagai umat Islam. 2. 5 lipatan di bawah (cewekan). Lipatan ini melambangkan rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji. Lipatan ini mengingatkan kita untuk menjalankan rukun Islam sebagai pondasi iman kita sebagai umat Islam. 3. 6 lipatan di dekat telinga (cewekan). Lipatan ini melambangkan rukun iman, yaitu beriman kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan qada dan qadar. Lipatan ini mengingatkan kita untuk menjalankan rukun iman sebagai landasan keyakinan kita sebagai umat Islam. 4. 2 lekuk di belakang kepala (sintingan). Lekuk ini melambangkan dua kalimat syahadat, yaitu asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah. Lekuk ini mengingatkan kita untuk mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai pengakuan kita sebagai umat Islam. Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa jumlah lipatan kain pembentuk blangkon memiliki filosofi yang sangat erat dengan ajaran Islam. Hal ini menunjukkan bahwa blangkon bukan hanya sekedar penutup kepala, tetapi juga sarana untuk mengungkapkan identitas, nilai, dan prinsip hidup masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam. Blangkon juga menjadi simbol kearifan, ketaqwaan, dan kedisiplinan dalam menjalankan ajaran agama. Selain itu Blangkon juga menyimpan nilai-nilai dasar masyarakat Jawa (value of life) Blangkon memiliki bentuk yang khas, yaitu ada lipatan melingkar untuk menutupi kepala dan ada mondolan atau bulatan di bagian belakang. Di balik bentuknya yang sederhana, blangkon menyimpan berbagai filosofi yang mencerminkan nilai-nilai dan prinsip hidup masyarakat Jawa. Berikut adalah beberapa filosofi blangkon yang penuh makna dan menginspirasi. a. Kesederhanaan. Blangkon mengajarkan kita untuk hidup sederhana dan menghargai apa yang kita miliki. Blangkon terbuat dari kain yang mudah ditemukan dan tidak memerlukan perawatan khusus. Blangkon juga tidak membedakan status sosial atau ekonomi penggunanya. Blangkon menunjukkan keindahan dalam kebersahajaan. b. Kreativitas. Blangkon mengajarkan kita untuk berpikir kreatif dan mencari solusi dalam menghadapi masalah. Blangkon memiliki berbagai jenis dan warna yang berbeda, tergantung pada asal daerah atau motif batiknya. Blangkon juga dapat disesuaikan dengan selera dan kepribadian penggunanya. Blangkon menunjukkan keunikan dalam keragaman. c. Keterikatan pada budaya. Blangkon mengajarkan kita untuk mengenal dan menghormati budaya kita sendiri. Blangkon adalah simbol budaya Jawa yang sangat penting dan memiliki sejarah yang panjang. Blangkon juga dipengaruhi oleh ajaran Islam yang masuk ke tanah Jawa. Blangkon menunjukkan kearifan dalam tradisi. d.Kekuatan dalam kesatuan. Blangkon mengajarkan kita untuk bekerja sama dan bersatu dalam menghadapi tantangan. Blangkon sering dipakai dalam kelompok atau komunitas untuk menunjukkan kebersamaan dan persatuan. Blangkon juga melambangkan harmoni antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara manusia dan Tuhan. Blangkon menunjukkan kekuatan dalam kesatuan. Blangkon mengajarkan kita untuk konsisten dalam menjalankan nilai-nilai dan prinsip yang kita yakini. Blangkon dipakai dengan cara tertentu dan memiliki aturan yang harus diikuti. Blangkon juga mewakili sikap pengendalian diri dan pengekangan emosi. Blangkon menunjukkan kedisiplinan dalam perilaku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dolce Far Niente

🌿 Saat waktu tak lagi menuntut, saat angin hanya berbisik pelan. Saat aku duduk di antara cahaya dan bayanganku sendiri.  Tidak ada yang harus diselesaikan. Tidak ada yang perlu dimenangkan. Hanya waktu yang mengalir tenang--berjalan tanpa suara, Dan hanya pikiranku yang menari--mengalir perlahan di dalamnya. Di kedalaman keindahan Sape, Kutemukan laut yang bisa bersenandung, Kurasakan hutan pegunungan yang diam dalam kebijaksanaan.  Aku belajar kearifan masyarakat tepian sungai, menghayati kehalusan hati masyarakat pedalaman hutan. Aku hidup tanpa beban— menghirup manisnya udara--Bahagia tanpa melakukan apa-apa. Dolce far niente...Tiada melakukan apa-apa bukan berarti hampa— tapi adalah suatu keberadaan yang tak membutuhkan pembuktian.

Ramadhan di Balikpapan

Ramadhan telah tiba. Sejak menginjakan kaki di airport Sepinggan enam bulan yang lalu, wekker- ku seolah-olah berputar sangat cepat.  Tiba-tiba saja..,. ujug-ujug sudah memasuki bulan Ramadhan. Ngerti-ngerti wes poso. Puasa tahun pertama di Balikpapan... ........... ☘️......... Ahmad Yani Airport. Akhir September 2023. Flight- ku masih satu jam lagi. Setengah mengantuk aku menuju ke toilet bandara. Cuci muka.. .................. Terasa sangat berbeda. Beberapa tahun lalu, sekitar lima atau enam tahun lalu saat aku masih wira-wiri  Semarang - Jakarta (aku lupa tahun berapa aku terakhir naik pesawat), saat itu airport ini masih belum selesai. Di sana-sini interiorrnya masih under construction . Tapi yang jelas bandara baru ini sudah dioperasikan untuk melayani penerbangan sipil, menggantikan bandara lama yang terletak di sampingnya.  Koridor dari tempat check-in menuju ruang tunggu penumpang masih polos. Bersih. Membosankan.   Hanya saja, yen ora keliru , waktu ...

Kamarintah, Republiken, Kamardikan dan Sego Godog

Sekitar tahun 80-an hingga awal 90-an sebuah gerobak kecil mangkal di seberang jalan Rumah Sakit Tentara Dokter Asmir Salatiga. Setiap malam gerobak tua dengan anglo arang yang selalu menebarkan asap " kemeluk " tebal itu, selalu dipenuhi oleh orang-orang yang asyik ngobrol. Air bekas cucian gelas kotor kopi dan teh bolak-balik dibuang di selokan.  Orang-orang menambahkan gumpalan-gumpalan " keluk " rokok diantara asap arang kelapa dari anglo yang pernah putus. Sego godog. Tangan tua yang dipenuhi keriput, dengan cekatan menuangkan air, menambahkan nasi , menambahkan bumbu. Mengaduk-aduk. Diakhiri dengan " nyiduk " nasi berkuah yang kebul-kebul, menuangkannya ke dalam piring. Begitulah sang tangan tua keriput itu berulang kali menjalankan ritual yang sama. Dan selalu akan ada tangan lain yang berganti-ganti, mengambil dan menerima piring isi nasi berkebul-kebul dari tangan keriputnya. Kadang-kadang di saat rehat, saat semua pelanggannya sudah menerima piri...