Langsung ke konten utama

Kangen Pak Kayam

Mangan Ora Mangan Kumpul adalah kumpulan sketsa yang dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta antara tahun 1987 sampai 1990. Sketsa-sketsa ini ditulis oleh Umar Kayam, seorang sastrawan, budayawan, dan akademisi yang terkenal dengan karya-karyanya yang mengangkat budaya dan kehidupan Jawa. 

Dalam buku ini, ia mengisahkan pengalaman-pengalamannya sebagai seorang priyayi yang tinggal di Jogja-Jakarta, dengan gaya bahasa yang ringan, lucu, dan penuh filosofi Jawa. 

Tokoh utama dalam sketsa-sketsa ini adalah Pak Ageng, seorang profesor sastra, guru besar yang diduga merupakan alter ego dari Umar Kayam sendiri. 

Pak Ageng tinggal bersama keluarga pembantunya yang ia sebut sebagai kitchen cabinet, yang terdiri dari Mister Rigen, Ms. Nansiyem, dan dua anaknya. 

Mister Rigen adalah tokoh yang mewakili pandangan dan suara dari wong cilik, yang sering beradu argumen dengan Pak Ageng tentang berbagai hal, mulai dari politik, ekonomi, hingga budaya. 

Ms. Nansiyem adalah istri Mister Rigen yang setia dan bijaksana, yang sering menjadi penengah dan penasihat bagi Pak Ageng dan Mister Rigen. 

Anak-anaknya adalah karakter yang mewakili generasi masa depan yang bergaya keminter-sok tahu namun sangat dinamis dan kritis, yang sering menimbulkan masalah atau kejutan bagi Pak Ageng. 

Sketsa-sketsa dalam buku ini menggambarkan berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia pada masa itu, dengan latar belakang budaya Jawa yang kental. 

 Umar Kayam menulis dengan gaya yang menghibur, namun juga mengandung kritik sosial yang tajam dan menyentuh. 

Ia menunjukkan kearifan (baik kearifan lokal maupun inter-lokal..he he..) dan keseimbangan dalam memandang dunia, dengan tidak mengambil sikap yang ekstrem atau fanatik.

 Ia juga menunjukkan rasa cinta dan hormatnya terhadap tanah air dan tradisinya, dengan tidak melupakan sejarah dan nilai-nilai luhur yang dimilikinya. 


 Buku ini layak dibaca oleh siapa saja yang ingin menikmati karya sastra yang berkualitas, sekaligus belajar tentang budaya dan sejarah Indonesia, khususnya Jawa. 


 Buku ini juga dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi pembaca untuk menjalani hidup dengan lebih bijak, harmonis, dan bahagia.

 Buku ini juga dapat menjadi saksi dan kenangan bagi pembaca yang pernah mengalami masa-masa yang digambarkan oleh Umar Kayam dalam buku ini.



Balikpapan, East Kalimantan, Februari 2024.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dolce Far Niente

🌿 Saat waktu tak lagi menuntut, saat angin hanya berbisik pelan. Saat aku duduk di antara cahaya dan bayanganku sendiri.  Tidak ada yang harus diselesaikan. Tidak ada yang perlu dimenangkan. Hanya waktu yang mengalir tenang--berjalan tanpa suara, Dan hanya pikiranku yang menari--mengalir perlahan di dalamnya. Di kedalaman keindahan Sape, Kutemukan laut yang bisa bersenandung, Kurasakan hutan pegunungan yang diam dalam kebijaksanaan.  Aku belajar kearifan masyarakat tepian sungai, menghayati kehalusan hati masyarakat pedalaman hutan. Aku hidup tanpa beban— menghirup manisnya udara--Bahagia tanpa melakukan apa-apa. Dolce far niente...Tiada melakukan apa-apa bukan berarti hampa— tapi adalah suatu keberadaan yang tak membutuhkan pembuktian.

Ramadhan di Balikpapan

Ramadhan telah tiba. Sejak menginjakan kaki di airport Sepinggan enam bulan yang lalu, wekker- ku seolah-olah berputar sangat cepat.  Tiba-tiba saja..,. ujug-ujug sudah memasuki bulan Ramadhan. Ngerti-ngerti wes poso. Puasa tahun pertama di Balikpapan... ........... ☘️......... Ahmad Yani Airport. Akhir September 2023. Flight- ku masih satu jam lagi. Setengah mengantuk aku menuju ke toilet bandara. Cuci muka.. .................. Terasa sangat berbeda. Beberapa tahun lalu, sekitar lima atau enam tahun lalu saat aku masih wira-wiri  Semarang - Jakarta (aku lupa tahun berapa aku terakhir naik pesawat), saat itu airport ini masih belum selesai. Di sana-sini interiorrnya masih under construction . Tapi yang jelas bandara baru ini sudah dioperasikan untuk melayani penerbangan sipil, menggantikan bandara lama yang terletak di sampingnya.  Koridor dari tempat check-in menuju ruang tunggu penumpang masih polos. Bersih. Membosankan.   Hanya saja, yen ora keliru , waktu ...

Kamarintah, Republiken, Kamardikan dan Sego Godog

Sekitar tahun 80-an hingga awal 90-an sebuah gerobak kecil mangkal di seberang jalan Rumah Sakit Tentara Dokter Asmir Salatiga. Setiap malam gerobak tua dengan anglo arang yang selalu menebarkan asap " kemeluk " tebal itu, selalu dipenuhi oleh orang-orang yang asyik ngobrol. Air bekas cucian gelas kotor kopi dan teh bolak-balik dibuang di selokan.  Orang-orang menambahkan gumpalan-gumpalan " keluk " rokok diantara asap arang kelapa dari anglo yang pernah putus. Sego godog. Tangan tua yang dipenuhi keriput, dengan cekatan menuangkan air, menambahkan nasi , menambahkan bumbu. Mengaduk-aduk. Diakhiri dengan " nyiduk " nasi berkuah yang kebul-kebul, menuangkannya ke dalam piring. Begitulah sang tangan tua keriput itu berulang kali menjalankan ritual yang sama. Dan selalu akan ada tangan lain yang berganti-ganti, mengambil dan menerima piring isi nasi berkebul-kebul dari tangan keriputnya. Kadang-kadang di saat rehat, saat semua pelanggannya sudah menerima piri...