Langsung ke konten utama

Mister Rigen's Letter




Mister Rigen, my loyal kitchen cabinet director, sent me a letter all the way from Canberra. 

I was surprised and impressed by his resourcefulness. 

How did he know my address? I've never sent him a letter before. He must have taken the initiative to find out my address. 

Maybe he asked around the office, interrogated various people, called Garuda Airlines, and maybe even Quantas, the Australian airline company. Anything is possible with Mister Rigen! I wouldn't be surprised if he contacted the intelligence world to get my address in Canberra. 

But he found my address and sent me a letter.


.............

Diyer Pak Ageng
.............

Pak Ageng, we miss you! Thole-thole Beni and Septian are doing okay, but we're worried about you. We've been struggling for two months now. We can only afford to eat kangkung and sambel every day. Our budget is tight since the prices have gone up. We're surviving on rice from the office and trading it for other food. The kids are upset, and it's hard to make ends meet. We hope you come back soon and bring back lots of goodies. Can we have kangaroo jerky as a souvenir? We heard it's delicious.

Mister Rigen's letter touched my heart. 

He's been eating kangkung and sambel every day, despite living in the city and having a stable job. If he's struggling, what about the people in the dry Pracimantara region? The dry season is expected to continue, and prices keep rising. In the past, during times of hardship, people would ask when their freedom would come. 

But now, what will they ask for? 

Freedom is an ongoing struggle.

I once tried kangaroo steak at a fancy restaurant in Canberra. The waiter explained how delicious it was, but when I pictured a kangaroo with its baby in its pouch, I lost my appetite. 

I had to cancel my order. Sorry, Mister Rigen, no kangaroo jerky for you. But I have a boomerang souvenir for Beni Prakosa and Ade Septian. Boomerangs are used by Aboriginal people to hunt kangaroos. Aboriginals are the indigenous people of Australia who have faced oppression for years.

I'm flying back to Denpasar tomorrow. 

Goodbye, Australia. 

The sunset in Sydney looks the same as in Canberra or Yogyakarta - red and beautiful. 

As I look out the window at Darling Harbour, I reflect on my time here. 

Australia, farewell.



(Translate and based on from Umar Kayam's Book)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dolce Far Niente

🌿 Saat waktu tak lagi menuntut, saat angin hanya berbisik pelan. Saat aku duduk di antara cahaya dan bayanganku sendiri.  Tidak ada yang harus diselesaikan. Tidak ada yang perlu dimenangkan. Hanya waktu yang mengalir tenang--berjalan tanpa suara, Dan hanya pikiranku yang menari--mengalir perlahan di dalamnya. Di kedalaman keindahan Sape, Kutemukan laut yang bisa bersenandung, Kurasakan hutan pegunungan yang diam dalam kebijaksanaan.  Aku belajar kearifan masyarakat tepian sungai, menghayati kehalusan hati masyarakat pedalaman hutan. Aku hidup tanpa beban— menghirup manisnya udara--Bahagia tanpa melakukan apa-apa. Dolce far niente...Tiada melakukan apa-apa bukan berarti hampa— tapi adalah suatu keberadaan yang tak membutuhkan pembuktian.

Ramadhan di Balikpapan

Ramadhan telah tiba. Sejak menginjakan kaki di airport Sepinggan enam bulan yang lalu, wekker- ku seolah-olah berputar sangat cepat.  Tiba-tiba saja..,. ujug-ujug sudah memasuki bulan Ramadhan. Ngerti-ngerti wes poso. Puasa tahun pertama di Balikpapan... ........... ☘️......... Ahmad Yani Airport. Akhir September 2023. Flight- ku masih satu jam lagi. Setengah mengantuk aku menuju ke toilet bandara. Cuci muka.. .................. Terasa sangat berbeda. Beberapa tahun lalu, sekitar lima atau enam tahun lalu saat aku masih wira-wiri  Semarang - Jakarta (aku lupa tahun berapa aku terakhir naik pesawat), saat itu airport ini masih belum selesai. Di sana-sini interiorrnya masih under construction . Tapi yang jelas bandara baru ini sudah dioperasikan untuk melayani penerbangan sipil, menggantikan bandara lama yang terletak di sampingnya.  Koridor dari tempat check-in menuju ruang tunggu penumpang masih polos. Bersih. Membosankan.   Hanya saja, yen ora keliru , waktu ...

Kamarintah, Republiken, Kamardikan dan Sego Godog

Sekitar tahun 80-an hingga awal 90-an sebuah gerobak kecil mangkal di seberang jalan Rumah Sakit Tentara Dokter Asmir Salatiga. Setiap malam gerobak tua dengan anglo arang yang selalu menebarkan asap " kemeluk " tebal itu, selalu dipenuhi oleh orang-orang yang asyik ngobrol. Air bekas cucian gelas kotor kopi dan teh bolak-balik dibuang di selokan.  Orang-orang menambahkan gumpalan-gumpalan " keluk " rokok diantara asap arang kelapa dari anglo yang pernah putus. Sego godog. Tangan tua yang dipenuhi keriput, dengan cekatan menuangkan air, menambahkan nasi , menambahkan bumbu. Mengaduk-aduk. Diakhiri dengan " nyiduk " nasi berkuah yang kebul-kebul, menuangkannya ke dalam piring. Begitulah sang tangan tua keriput itu berulang kali menjalankan ritual yang sama. Dan selalu akan ada tangan lain yang berganti-ganti, mengambil dan menerima piring isi nasi berkebul-kebul dari tangan keriputnya. Kadang-kadang di saat rehat, saat semua pelanggannya sudah menerima piri...