Langsung ke konten utama

Pak Besut. Sekali Merdeka Tetap Merdeka

Pak Besut was the stage name of Pancratius Suradi Wardoyo, a famous Javanese comedian and radio broadcaster. 

He was born on January 15, 1910 in Celep, Sragen, Central Java, and died on April 29, 1984.. 

He was known for his humorous and philosophical stories, which he performed on Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta from 1945 to 1981. His show, called “Obrolan Pak Besut” (Pak Besut’s Chat), was very popular among the Javanese people, as he used his jokes to criticize the social and political issues of his time, as well as to inspire and educate his listeners. 

Pàk Besut always ended his show with the phrase “sekali merdeka tetap merdeka” (once free, always free). 

He was also a journalist, a teacher, and a politician. He was a member of the regional council of Yogyakarta in 1971. He was a Catholic and a nationalist, who supported the Indonesian independence movement.

Pak Besut used the Javanese language, which is rich in expressions, proverbs, and idioms, to convey his humor and wisdom. 

He portrayed the Javanese values of modesty, politeness, harmony, and respect, as well as the Javanese worldview of nrimo (acceptance), ngelmu (knowledge), and ngudi luhur (noble deeds). He depicted the Javanese society, especially the rural and urban poor, with their struggles, joys, and hopes, as well as their customs, traditions, and beliefs. 

Pàk Besut criticized the Javanese elites, such as the aristocrats, the bureaucrats, and the religious leaders, who often exploited, oppressed, or deceived the common people. 

He celebrated the Javanese heroes, such as the Mataram kings, the Diponegoro rebels, and the Surabaya fighters, who resisted the colonial powers and defended the Javanese dignity and sovereignty.

Pak Besut was considered one of the greatest comedians of Indonesia, and a cultural icon of the Javanese people.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dolce Far Niente

🌿 Saat waktu tak lagi menuntut, saat angin hanya berbisik pelan. Saat aku duduk di antara cahaya dan bayanganku sendiri.  Tidak ada yang harus diselesaikan. Tidak ada yang perlu dimenangkan. Hanya waktu yang mengalir tenang--berjalan tanpa suara, Dan hanya pikiranku yang menari--mengalir perlahan di dalamnya. Di kedalaman keindahan Sape, Kutemukan laut yang bisa bersenandung, Kurasakan hutan pegunungan yang diam dalam kebijaksanaan.  Aku belajar kearifan masyarakat tepian sungai, menghayati kehalusan hati masyarakat pedalaman hutan. Aku hidup tanpa beban— menghirup manisnya udara--Bahagia tanpa melakukan apa-apa. Dolce far niente...Tiada melakukan apa-apa bukan berarti hampa— tapi adalah suatu keberadaan yang tak membutuhkan pembuktian.

Ramadhan di Balikpapan

Ramadhan telah tiba. Sejak menginjakan kaki di airport Sepinggan enam bulan yang lalu, wekker- ku seolah-olah berputar sangat cepat.  Tiba-tiba saja..,. ujug-ujug sudah memasuki bulan Ramadhan. Ngerti-ngerti wes poso. Puasa tahun pertama di Balikpapan... ........... ☘️......... Ahmad Yani Airport. Akhir September 2023. Flight- ku masih satu jam lagi. Setengah mengantuk aku menuju ke toilet bandara. Cuci muka.. .................. Terasa sangat berbeda. Beberapa tahun lalu, sekitar lima atau enam tahun lalu saat aku masih wira-wiri  Semarang - Jakarta (aku lupa tahun berapa aku terakhir naik pesawat), saat itu airport ini masih belum selesai. Di sana-sini interiorrnya masih under construction . Tapi yang jelas bandara baru ini sudah dioperasikan untuk melayani penerbangan sipil, menggantikan bandara lama yang terletak di sampingnya.  Koridor dari tempat check-in menuju ruang tunggu penumpang masih polos. Bersih. Membosankan.   Hanya saja, yen ora keliru , waktu ...

Kamarintah, Republiken, Kamardikan dan Sego Godog

Sekitar tahun 80-an hingga awal 90-an sebuah gerobak kecil mangkal di seberang jalan Rumah Sakit Tentara Dokter Asmir Salatiga. Setiap malam gerobak tua dengan anglo arang yang selalu menebarkan asap " kemeluk " tebal itu, selalu dipenuhi oleh orang-orang yang asyik ngobrol. Air bekas cucian gelas kotor kopi dan teh bolak-balik dibuang di selokan.  Orang-orang menambahkan gumpalan-gumpalan " keluk " rokok diantara asap arang kelapa dari anglo yang pernah putus. Sego godog. Tangan tua yang dipenuhi keriput, dengan cekatan menuangkan air, menambahkan nasi , menambahkan bumbu. Mengaduk-aduk. Diakhiri dengan " nyiduk " nasi berkuah yang kebul-kebul, menuangkannya ke dalam piring. Begitulah sang tangan tua keriput itu berulang kali menjalankan ritual yang sama. Dan selalu akan ada tangan lain yang berganti-ganti, mengambil dan menerima piring isi nasi berkebul-kebul dari tangan keriputnya. Kadang-kadang di saat rehat, saat semua pelanggannya sudah menerima piri...