Langsung ke konten utama

Postingan

Kamarintah, Republiken, Kamardikan dan Sego Godog..

Sekitar tahun 80-an hingga awal 90-an sebuah gerobak kecil mangkal di seberang jalan Rumah Sakit Tentara Dokter Asmir Salatiga. Setiap malam gerobak tua dengan anglo arang yang selalu menebarkan asap 'kemeluk" tebal itu, selalu dipenuhi oleh orang-orang yang asyik ngobrol. Air bekas cucian gelas kotor kopi dan teh bolak-balik dibuang di selokan.  Orang-orang menambahkan gumpalan-gumpalan "keluk" rokok diantara asap arang kelapa dari anglo yang pernah putus. Sego godog. Tangan tua yang dipenuhi keriput, dengan cekatan menuangkan air, menambahkan nasi , menambahkan bumbu. Mengaduk-aduk. Diakhiri dengan "nyiduk" nasi berkuah yang kebul-kebul, menuangkannya ke dalam piring. Begitulah sang tangan tua keriput itu berulang kali menjalankan ritual yang sama. Dan selalu akan ada tangan lain yang berganti-ganti, mengambil dan menerima piring isi nasi berkebul-kebul dari tangan keriputnya. Kadang-kadang di saat rehat, saat semua pelanggannya sudah menerima piring nasi

Little House In The Prairie

  Laura Jika kamu anak SD atau anak SMP sekitar tahun 1980-an, so pasti dengan tingkat probabilitas cukup tinggi....dan cukup meyakinkan pasti tahu siapa gadis pada gambar di atas.  Ya..Laura. Karakter Laura dalam film Little House In The Prairie diperankan oleh Mellisa Gilbert. Tapi tahukah kamu jika karakter Laura dalam film tersebut sebenarnya adalah personifikasi karakter dari penulis buku Little House In The Prairie itu sendiri?  Siapa penulis cerita Little House in The Prairie? Laura Elizabeth Ingalls Wilder. Laura Elizabeth Ingalls Wilder adalah seorang penulis Amerika yang terkenal dengan seri buku anak-anak Little House on the Prairie , diterbitkan antara tahun 1932 dan 1943, yang merupakan  kisah masa kecilnya di keluarga pemukim dan perintis.  Selama tahun 1970-an dan awal 1980-an, serial NBC-TV Little House on the Prairie didasarkan pada buku-buku Little House. Laura adalah anak kedua dari lima bersaudara yang lahir dari pasangan Caroline dan Charles Ingalls pada tanggal 7

Tino Sidin : One of the memorable figures for Indonesian children

  Pak Tino Sidin, one of the memorable figures for Indonesian children.  Pak Tino Sidin is an educational artist, with a natural expressive style who comes from Yogyakarta.  He was born in Tebing Tinggi, North Sumatra on November 25 1925. He was a pujakusuma, namely a Javanese son born in Sumatra. He acquired his skills in painting and drawing autodidactically, and then he studied at the Indonesian Academy of Fine Arts (ASRI) in 1960-1963.  He is known for his "Love to Draw" program on the TVRI television station. This event is a drawing appreciation event for children.  Pak Tino Sidin's slogan, which is most known from the past until now, is "Yes, good!" , it's easy to remember and he always says it when hosting events and teaching drawing.  At the age of 20, he started his career in the world of art by becoming a drawing teacher in Yogyakarta.  Over time, Mr. Tino's career increasingly took off when in the 1980s he appeared on a TVRI program entitled &

Book Review: Fikih Sosial

Overview “Fikih Sosial” is a thought-provoking work that delves into the intersection of Islamic jurisprudence (fiqh) and social dynamics. Written by the esteemed scholar Kiai Sahal Mahfudh, this book offers a fresh perspective on how fiqh can adapt to contemporary societal challenges. Plot and Structure The book doesn’t follow a traditional narrative plot, as it’s not a fictional work. Instead, it presents a systematic exploration of “Fikih Sosial,” emphasizing its relevance in today’s world. The structure is well-organized, with clear sections that guide readers through various aspects of social fiqh. Character Development Given that this is not a novel, there are no characters in the conventional sense. However, Kiai Sahal himself emerges as a central figure—a thinker who bridges the gap between tradition and modernity. His ideas and insights serve as the driving force behind the book. Writing Style Kiai Sahal’s writing style is scholarly yet accessible. He combines classical Islami

Resensi Buku: “Slilit Sang Kiai”

  “Slilit Sang Kiai” adalah kumpulan esai yang menggugah pikiran oleh Emha Ainun Nadjib, seorang penulis dan tokoh budaya terkemuka Indonesia. Melalui prosanya yang fasih, Nadjib menyelami kompleksitas agama, kemanusiaan, dan keadilan.  Mari kita jelajahi berbagai aspek dalam buku ini.  Buku ini tidak mengikuti alur naratif tradisional. Sebaliknya, ini terdiri dari serangkaian kolom yang awalnya diterbitkan di berbagai media. Masing-masing kolom berdiri sendiri, namun bersama-sama membentuk eksplorasi kohesif atas tema-tema mendalam. Gaya penulisan Cak Nun lugas, memungkinkan pembaca terlibat dengan setiap esai secara mandiri. Sebagai kumpulan esai, “Slilit Sang Kiai” tidak menampilkan pengembangan karakter dalam pengertian konvensional. Namun, suara Cak Nun muncul sebagai tokoh sentral—seorang pengamat yang bijak, pencari kebenaran, dan pembela kemanusiaan. Wawasannya sangat relevan dan mencerahkan.  Agama dan Pembebasan  Emha Ainun Nadjib menantang penggambaran statis Islam sebagai s

From Plato To Platoisme

From Plato To Platoisme  adalah karya luar biasa yang menggali inti Platonisme, mengeksplorasi nuansa, asal usul, dan dampaknya.  Ditulis oleh Lloyd P. Gerson, buku ini menjembatani kesenjangan antara keilmuan Amerika Utara dan kontinental, menawarkan wawasan segar tentang aliran filsafat kuno yang paling berpengaruh.  Narasi Gerson bukanlah cerita tradisional yang digerakkan oleh plot; sebaliknya, ini adalah perjalanan intelektual. Ia menelusuri evolusi Platonisme, dari awal hingga berbagai manifestasinya.  Tokoh-tokoh di sini bukanlah individu melainkan pemikiran filosofis, aliran, dan pemikir. Plotnya terungkap melalui interaksi, perdebatan, dan transformasi mereka dari waktu ke waktu.  Prosa Gerson terpelajar dan mudah dipahami. Ia merangkai catatan sejarah, dialog filosofis, dan analisis kritis dengan mulus. Tulisannya teliti, namun ia menghindari jargon yang tidak perlu, membuat ide-ide rumit mudah dicerna oleh pembaca.  Buku ini menggunakan teknik seperti analisis komparatif, pe

LINTAR, KETIKA MUSIM DUREN TIBA

Lintar, Ketika Musim Duren Tiba adalah sebuah film Indonesia tahun 1988 yang disutradarai oleh Abdi Wiyono dan diproduseri oleh Ferry Angriawan.  Film ini berdasarkan novel berjudul sama karya Helmy Yahya, dan dibintangi oleh Ridzky M. Harris sebagai Lintar, seorang siswa sekolah menengah yang terlibat dalam berbagai masalah dan petualangan bersama teman dan pacarnya.  Film ini mengikuti kehidupan Lintar, seorang remaja pemberontak dan nakal yang suka membolos, mengerjai, dan mengejar gadis. Ia berpacaran dengan Atik, gadis manis dan setia yang kerap kesal dengan kelakuannya. Sahabat Lintar adalah Onky, anak laki-laki kaya raya dan manja yang suka memamerkan gadget dan mobilnya, serta Wibisono, anak pintar dan kutu buku yang suka belajar dan mengarang-ngarang.  Bersama-sama, mereka membentuk trio pembuat onar yang sering bentrok dengan guru, saingan, dan orang tua. Film ini bersetting pada musim durian, saat buah yang berduri dan berbau ini melimpah dan populer di Indonesia. Lintar dan

LUPUS : TANGKAPLAH DAKU, KAU KUJITAK

Lupus ,Tangkaplah Daku Kau Kujitak adalah sebuah film komedi Indonesia tahun 1987 yang berdasarkan pada buku pertama serial Lupus populer karya Hilman Hariwijaya.  Film ini mengikuti petualangan Lupus, seorang siswa SMA yang cerdas dan nakal, dan teman-temannya saat mereka menghadapi berbagai masalah seperti kencan, sekolah, keluarga, dan persahabatan.  Film Lupus ini dibagi menjadi 10 segmen, masing-masing berdasarkan cerita pendek dari buku.  Beberapa segmennya adalah: Kencan Pertama (Kencan Pertama), dimana Lupus mencoba mengesankan kekasihnya Poppy; Prestise Jazz (Jazz Prestige), dimana Lupus dan teman-temannya membentuk band jazz untuk berkompetisi di festival sekolah; Playboy Duren Tiga (Playboy Duren Tiga), di mana Lupus mendapat masalah dengan sekelompok preman setelah menggoda pacar pemimpin mereka; dan Kantin Sekolah Kolak Pisang Untuk Lupus, dimana Lupus menghadapi dilema antara kesetiaannya kepada teman-temannya dan kecintaannya pada puding pisang.  Film ini disutradarai ol

Si Burung Merak

Rendra lahir di Solo, Jawa Tengah pada 7 November 1935 dari pasangan Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa di sekolah Katolik, serta dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari srimpi di Keraton Surakarta Hadiningrat.   Rendra menghabiskan masa kecil dan remajanya di kota kelahirannya, dan menempuh pendidikan di SMP Xaverius dan SMA Kolese De Britto. Sejak muda, ia sudah menulis puisi, skenario drama, cerpen, dan esai sastra di berbagai media massa.  Rendra melanjutkan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, jurusan Sastra Inggris. Ia aktif di berbagai kegiatan kesenian, seperti teater, musik, dan tari.  Pada tahun 1964, ia mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatic Arts di New York, Amerika Serikat, untuk belajar drama dan seni. Di sana, ia bertemu dengan Sunarti Suwandi, seorang penari Indonesia yang kemudian menjadi istrinya.  Setelah lulus d