- Rendra lahir di Solo, Jawa Tengah pada 7 November 1935 dari pasangan Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa di sekolah Katolik, serta dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari srimpi di Keraton Surakarta Hadiningrat.
- Rendra menghabiskan masa kecil dan remajanya di kota kelahirannya, dan menempuh pendidikan di SMP Xaverius dan SMA Kolese De Britto. Sejak muda, ia sudah menulis puisi, skenario drama, cerpen, dan esai sastra di berbagai media massa.
- Rendra melanjutkan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, jurusan Sastra Inggris. Ia aktif di berbagai kegiatan kesenian, seperti teater, musik, dan tari.
- Pada tahun 1964, ia mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatic Arts di New York, Amerika Serikat, untuk belajar drama dan seni. Di sana, ia bertemu dengan Sunarti Suwandi, seorang penari Indonesia yang kemudian menjadi istrinya.
- Setelah lulus dari akademi tersebut, ia melanjutkan studinya di École Internationale de Théâtre Jacques Lecoq di Paris, Prancis, pada tahun 1967. Di sana, ia belajar tentang teater fisik, mime, dan komedi.
- Rendra banyak belajar dari berbagai guru dan tokoh sastra, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Beberapa di antaranya adalah:
- Raden Mas Noto Soeroto, seorang penyair dan politisi Indonesia yang menjadi gurunya di SMP Xaverius. Beliau mengajarkan Rendra tentang puisi dan sastra Jawa.
- Sutan Takdir Alisjahbana, seorang sastrawan dan budayawan Indonesia yang menjadi gurunya di Universitas Gadjah Mada. Beliau mengajarkan Rendra tentang sastra modern dan kritik sastra.
- Chairil Anwar, seorang penyair Indonesia yang menjadi inspirasi Rendra dalam menulis puisi. Rendra mengagumi gaya bahasa dan tema-tema puisi Chairil Anwar yang penuh semangat dan kritik sosial.
- Jacques Lecoq, seorang aktor dan guru teater Prancis yang menjadi gurunya di École Internationale de Théâtre Jacques Lecoq. Beliau mengajarkan Rendra tentang teater fisik, mime, dan komedi, serta mengembangkan kreativitas dan ekspresi tubuh.
- Antonin Artaud, seorang penulis, aktor, dan teoretikus teater Prancis yang menjadi pengaruh Rendra dalam mengembangkan teater sebagai media protes dan kritik sosial. Rendra mengadopsi konsep teater kekejaman (theatre of cruelty) Artaud dalam karya-karyanya.
- Rendra memulai kariernya sebagai penyair dan sastrawan dengan menerbitkan kumpulan puisi pertamanya, Balada Orang-orang Tercinta, pada tahun 1957. Puisi-puisinya banyak mengangkat tema-tema tentang agama, cinta, alam, dan kemanusiaan.
- Pada tahun 1961, ia mendirikan Teater Kecil di Yogyakarta, sebuah kelompok teater yang menampilkan drama-drama karya Rendra dan penulis lain.
- Pada tahun 1967, setelah kembali dari Prancis, ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta, sebuah kelompok teater yang lebih profesional dan eksperimental. Melalui Bengkel Teater, Rendra melahirkan banyak karya teater yang terkenal, seperti Perjuangan Suku Naga, Kisah Perjuangan Suku Naga, Sekda, dan Sajak-sajak Merdeka. Ia juga melatih dan menginspirasi banyak seniman. P
- Pada tahun 1985, ia memindahkan Bengkel Teater ke Depok, Jawa Barat, karena tekanan politik dari rezim Orde Baru.
- Rendra menikah tiga kali dalam hidupnya. Istri pertamanya adalah Sunarti Suwandi, seorang penari Indonesia yang ia temui di Amerika Serikat. Dari pernikahan ini, mereka memiliki empat anak, yaitu Theodorus Setya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, dan Samuel Musa. Istri keduanya adalah Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, seorang putri keraton Yogyakarta yang juga menjadi anggota Bengkel Teater. Mereka menikah pada tahun 1970 dan bercerai pada tahun 1979. Dari pernikahan ini, mereka memiliki tiga anak, yaitu Clara Sinta, Yonas Salya, dan Sarah Drupadi.
- Istri ketiganya adalah Ken Zuraida, seorang seniman teater yang juga menjadi anggota Bengkel Teater. Mereka menikah pada tahun 1974 dan tetap bersama hingga akhir hayat Rendra. Dari pernikahan ini, mereka memiliki enam anak, yaitu Naomi Srikandi, Rachel Saraswati, Isaias Sadewa, Maryam Supraba, dan dua anak angkat, yaitu Rendra dan Rendy.
- Rendra adalah seorang seniman yang kritis dan berani menyuarakan pendapatnya tentang berbagai isu sosial dan politik. Ia juga menentang rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, yang ia anggap sebagai rezim yang korup, represif, dan anti-demokrasi. Ia sering menulis dan membacakan puisi-puisi yang berisi kritik dan protes terhadap pemerintah, seperti Aku Tulis Pamplet Ini, Blues untuk Bonnie, dan Sajak-sajak Merdeka.
- Ia juga menampilkan drama-drama yang menggambarkan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penguasa, seperti Sekda, Siti Jenar, dan Mastodon.
- Akibatnya, ia sering mendapat tekanan, intimidasi, dan penangkapan. Ia juga pernah dicekal dan dilarang tampil di berbagai tempat.
- Bengkel Teater memiliki pengaruh yang besar pada dunia teater Indonesia, karena:
- Bengkel Teater sering menyajikan permasalahan sosial dan politik dalam setting yang tidak terduga, sehingga memberi suasana baru dan kritik tajam terhadap penguasa dan masyarakat.
- Bengkel Teater melahirkan banyak seniman dan sastrawan terkemuka, seperti Sitok Srengenge, Radhar Panca Dahana, Adi Kurdi, Wiji Thukul, dan lain-lain. Mereka meneruskan semangat dan gaya Rendra dalam berkarya.
- Bengkel Teater mengembangkan berbagai bentuk dan teknik teater, seperti Teater Mini Kata, Teater Fisik, Teater Kekejaman, dan Teater Epik. Mereka menggabungkan unsur-unsur tradisional dan modern, serta mengadopsi konsep-konsep dari tokoh-tokoh teater dunia, seperti Bertold Brecht dan Antonin Artaud.
BeBeberapa karya teater terbaiknya antara lain adalah:
- Orang-orang di Tikungan Jalan (1954): Drama ini menggambarkan kehidupan masyarakat kota yang miskin, tertindas, dan teralienasi oleh modernisasi dan kapitalisme. Drama ini juga mengecam ketidakpedulian pemerintah dan kaum elite terhadap nasib rakyat jelata.
- Sekda (1977): Drama ini merupakan sebuah drama yang mengisahkan tentang Sekretaris Daerah (Sekda) yang korup, licik, dan oportunis. Drama ini mengecam praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela di birokrasi pemerintahan, serta menunjukkan dampak buruknya bagi rakyat dan pembangunan.
- Kisah Perjuangan Suku Naga (1975): Drama ini merupakan sebuah epik yang menceritakan tentang perjuangan suku Naga, sebuah suku asli yang hidup di pedalaman Papua, melawan penjajahan dan eksploitasi dari pihak asing. Drama ini menggugah rasa nasionalisme dan solidaritas antara bangsa-bangsa yang tertindas.
- Mastodon dan Burung Kondor (1972): Drama ini merupakan sebuah alegori yang membandingkan dua binatang purba, mastodon dan burung kondor, dengan dua kekuatan politik, Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang saling bersaing memperebutkan pengaruh di dunia. Drama ini mengekspos kebrutalan dan keserakahan dari kedua negara adidaya tersebut, serta mengajak bangsa-bangsa lain untuk tidak terjebak dalam perang dingin mereka.
Selain drama-drama di atas, WS Rendra juga menulis dan menyutradarai beberapa drama lain yang berkualitas, seperti Penembahan Reso, Makna Sebuah Titipan dan Sajak-sajak Sepatu Tua.
WS Rendra mendapatkan julukan Si Burung Merak karena cara pembacaan puisi dan penampilannya di atas panggung yang penuh pesona dan flamboyan, seperti burung merak yang mengepakkan ekornya yang indah.
Julukan ini berasal dari seorang sahabat Rendra yang berasal dari Australia, yang melihat Rendra terpesona oleh seekor burung merak jantan yang dikerubungi merak-merak betina di Kebun Binatang Gembira Loka di Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar